Selasa, 03 April 2012

Feature


Romantika Ber-Angkutan Kota

            Duduk dengan berdesak-desakan, udara panas yang menyengat di luar, menambah sesak para penumpang yang menumpangi mobil bercat hijau tua  dan bertuliskan via Kalapa-Ledeng siang itu. Belum lagi asap rokok yang mengepul dari mulut Sang Sopir. Secuil cerita tersebut merupakan salah satu sensasi yang unik, yang acap kita rasakan ketika menumpangi angkutan kota. Mungkin ini yang disebut romantika ber-angkutan kota.

            Siang itu, sekitar pukul dua belas, kebetulan penumpang sedang penuh-penuhnya. “Geser, Teh, geser! Masih bisa di kiri satu lagi!” perintah Sang Sopir. Para penumpang yang sudah merasa sempit, dengan terpaksa bergeser demi satu ruang lagi untuk penumpang baru.
            Kilasan adegan di atas, kerap kita rasakan ketika berada di angkot (angkutan kota red-). Berdesak-desakan ria sembari menahan pengap. Segelintir sopir “nakal” terkadang dengan enaknya merokok tanpa memerhatikan para penumpangnya merasa terganggu. Entah tidak sadar atau pura-pura tidak sadar. Jelas, merokok di tempat umum dilarang. Terlebih jika kebetulan ada penumpangnya yang seorang ibu hamil atau seorang ibu yang membawa bayi atau balitanya. Sungguh membahayakan.
            Jika dianalogikan, terkadang menumpangi angkot sama menegangkannya dengan bermain wahana halilintar. Sebagai contoh, angkot via Kalapa-Ledeng. Kerap kali sopir angkot via tersebut, yang entah sengaja atau karena sebab lain yang tak dapat diketahui, menyetir dengan ugal-ugalan. Mempertunjukkan aksi menyalip indah. Para penumpang wanita dan ibu-ibu  biasanya  hanya bisa mengelus dada sembari memegang erat pinggiran kaca atau bangku.
            Sudah menjadi rahasia umum, jika sopir angkot terkadang menginstruksikan adegan TURUN-DAN-PINDAH pada penumpangnya. Menuruni penumpangnya sebelum sampai di pemberhentian akhir, lalu meminta penumpangnya pindah ke angkot lain yang searah. Jumlah penumpang yang tinggal sedikit, menjadi alasannya. Alasan lainnya, Sang Sopir mendapat orderan dadakan. Tanpa memikirkan kenyamanan penumpang yang tengah asyik menikmati perjalanan. Sepele memang, tapi agak menyebalkan juga, terlebih jika kita tengah asyik-asyiknya duduk sambil menikmati pemandangan dari dalam angkot, atau bila meminjam istilah anak muda sekarang, pewe (posisi wuenak), tiba-tiba diinstruksikan untuk pindah ke angkot yang lain. Pernah suatu ketika, seorang pria muda sedang asyik mendengarkan musik lewat earphonenya. Pria muda yang duduk di samping sopir tersebut, jengkel, ketika Sang Sopir berkata, “Pindah, Aa, ga usah bayar!”. Ia terpaksa turun dan pindah, walau bibirnya terlihat bergumam, “Kenapa, sih, Bang? Saya bayar penuh juga ga papa kali, Bang!”. Yaa, memang jika kita mengalami adegan TURUN-DAN-PINDAH, kita dibebaskan dari membayar tarif angkotnya. Walau begitu, kenyamanan perjalanan sampai tujuan adalah hal utama.
            Romantika lainnya yang kerap kita rasakan di angkot adalah menunggu. Menunggu seluruh bangku penuh dengan penumpang, untuk kemudian melaju. Menurut kaca mata sopir angkot, perihal agenda menunggu tersebut, terbilang wajar. Penumpang juga memaklumi betul agenda menunggu yang sering kita dengar dengan istilah ngetem tersebut. Namun, adakalanya penumpang jengah, lantaran angkot yang ditumpanginya terlalu lama ngetem. Kepentingan setiap penumpang yang berbeda-beda, menjadi sebabnya.  Ada yang memang memiliki kepentingan terntentu, sehingga penumpang tersebut dituntut terburu-buru. Semisal, seorang mahasiswa atau anak sekolah yang notabene harus datang tepat waktu, dikarenakan angkot yang mereka tumpangi terlalu lama ngetem, bukan tidak mungkin mereka akan telat. Wajar jika ada penumpang yang mengomel atau jengah jika angkot yang mereka tumpangi, ngetem terlampau lama.
            Terdapat pula hal manis yang dapat kita kantongi ketika menumpangi angkot. Kita dapat menemukan peristiwa-peristiwa sederhana yang unik, menggelitik, inspiratif, dan bahkan sentimentil, yang ditorehkan oleh sesama penumpang angkot. Mulai dari seorang ibu yang membantu anaknya mengerjakan PR sembari marah-marah, seorang anak SD yang mengadu kehilangan pensil pada ibunya, tapi Sang Ibu justru memarahinya, hehehe… Ada-ada saja. Belum lagi seorang wanita muda yang bertengkar via handphone dengan kekasihnya dan wanita muda tersebut menangis terisak-isak. Adalagi Seorang ayah yang dengan setia mendengarkan curhat anak lelaki kecilnya, Sang Ayah yang jika ditelaah dari pakaiannya adalah seorang karyawan itu, penuh antusias mendengar jagoan kecilnya berceloteh tentang matematika, tugasnya sebagai ketua kelas, hingga bermain futsal.
Sekali-sekali kita melihat sepasang muda-mudi dengan romantisnya berpegangan tangan, atau saling merangkul di pojok angkot. Sekelompok anak SMA yang bercakap-cakap tentang kehidupan sekolah sampai tetek-bengek percintaan mereka. Adapulan tiga orang mahasiswi yang saling antusias membicarakan tempat untuk membeli dispenser murah. Percaya atau tidak, secara kebetulan, kita terkadang menemukan informasi dari percakapan yang tak sengaja kita dengar dari sesama penumpang angkot.
Hal yang menggelitik juga kerap kita jumpai di angkot. Perihal ongkos umumnya. Pernah suatu ketika seorang ibu tidak mempunyai uang receh untuk membayar ongkos, ibu tersebut lalu mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu. Sang Sopir yang juga tidak memiliki uang receh, memaklumi lalu membebaskan ibu tersebut dari membayar ongkos. Tak hanya itu, pernah pula kejadian seorang pria muda tidak bisa membayar ongkos angkot karena dompetnya hilang. Entah benar atau tidak, tapi Sang Sopir angkot memakluminya.
Tetap Menjadi Pilihan
            Sekelumit kisah seputar sensasi ber-angkutan kota yang tergambar di atas, memiliki dua rasa, manis dan asam. Rasa asamnya, seketika memunculkan kata ketidaknyamanan dalam benak kita. Meski begitu, angkot tetap menjadi pilihan oleh sebab tarifnya yang murah. Tarif terjauh (pemberhentian akhir) hanya dibandrol empat ribu rupiah saja. Tentu, menjangkau semua kalangan. Walau terkadang harus berteman dengan asap rokok, berdesak-desakan, ngetem, instruksi TURUN-DAN-PINDAH, serta aksi mengebut dan menyalip indah yang menegangkan.  Murah, tak selamanya asam. Tak bisa dimungkiri masih dapat kita temukan rasa manis dari sensasi ber-angkutan kota, lewat beragam peristiwa sederhana yang inspiratif, unik, dan bahkan menggelitik, yang ditorehkan oleh sopir dan penumpangnya.    
                                              

                                              suasana di dalam angkot (angkutan kota red-)
                                                sumber gambar : aleut.wordpress.com



Inspiring Teachers


“Guruku tersayang, guru tercinta… Tanpamu apa jadinya aku…
Tak bisa baca tulis, mengerti banyak hal…
Guruku, terima kasihku…” 
Penggalan lagu klasik di atas, mengingatkan kita semua akan sosok guru favorit semasa sekolah dulu.  Guru yang bahkan wejangan-wejangannya tetap kita ingat, meski telah bertahun-tahun meninggalkan bangku sekolah. Cara mengajar yang bersahaja dan penuh ketulusan, membuat sosok guru favorit mampu membangkitkan semangat belajar murid-muridnya. Sesulit apapun pelajaran tersebut. Berikut adalah tiga sosok guru yang hingga detik ini menjadi panutan penulis.

Bu Mimin
            Terngiang senyum khasnya setiap saya mengingat sosok Ibu Guru yang satu ini. Senyum dan binar matanya yang memancarkan ketulusan dan kebersahajaan. Beliau adalah guru bahasa Indonesia saya, ketika duduk di bangku sekolah menengah pertama. Minkaesih nama lengkapnya. Penuh perhatian pada murid-muridnya, sabar, dan mampu membuat murid-muridnya antusias belajar bahasa Indonesia. Suatu pelajaran yang kita tahu, dicap sebagai pelajaran yang tidak penting dan membosankan. Beliau menjelma menjadi teman, setiap kali ia mengajar. Mungkin itu yang membuat kami antusias diajar olehnya.
            Pernah suatu kali, kami ribut dan tak dapat dikendalikan. Bu Mimin yang putus asa lantaran tak dapat lagi meng-kondusifkan seisi kelas, lalu menitikkan air mata. Kami spontan terperanjat dan merasa bersalah. Bu Mimin lalu berlalu dan kami seisi kelas menyesal karena membuatnya menangis. Dari semenjak itu, kami enggan ribut lagi (pada waktu pelajaran Bu Mimin).
            Momen lucu yang masih terekam jelas dibenak penulis adalah ketika bersalaman untuk pamit pulang. Sudah menjadi rutinitas, setiap pelajaran bahasa Indonesia (penulis lupa, apa semua pelajaran juga demikian) berada di jam akhir, selalu ada acara berpamitan sembari bersalaman dengan Bu Mimin (kita semua berbaris dulu, loh. Mirip anak TK ya? Hehehe…). Aku yang siang itu kebetulan menggunakan tas cangklek putih dan agak besar bentuknya, terkejut ketika Bu Mimin berkata, “Mau ke pasar, Bu?”. Beliau berucap sembari melirik ke arah tasku. Aku sempat terkejut lantaran Bu Mimin sebegitu jelinya memerhatikan muridnya. Aku lantas membalas perkataan Beliau sembari tersipu malu, “Hehehe.. Ibu bisa aja...”.

Bu Samini
            Fisika? Pasti sebagian kita langsung bergidik bila mendengar kata barusan. Yup! Saya juga termasuk yang fobia dengan pelajaran yang satu ini (susahnya ngga ketulungan!). Waktu saya duduk di kelas 8 sekolah menengah pertama, saya diajar oleh Bu Samini untuk pelajaran yang terbilang menakutkan tersebut. Bu Samini adalah seorang guru yang sabar. Walaupun ketika pertama kali mengajar, caranya terlalu cepat. Sampai suatu ketika kami semua protes, “Ibu, nggak ngerti!”. “Yang mana yang kalian nggak ngerti?” tanyanya. Kompak kami menjawab, “Semuanya, Bu!”. Meski agak sedikit terkejut mendengar kita tidak mengerti semua  materi yang Beliau ajarkan, Beliau akhirnya memaklumi dengan merubah cara mengajarnya menjadi lebih perlahan, dan selalu menyelipkan pertanyaan, “Ada yang kesulitan?”. Dari semenjak itu, kami yang tadinya sebal dengannya, menjadi suka padanya. Benar-benar guru yang pengertian. Yaa, Beliau paham kalau tidak semua anak cepat mengerti rumus-rumus dalam Fisika.
            “Rambutnya bagus, ga keliatan kaya abis dibonding. Tebel.” komentar Beliau mengenai rambut baru saya, yang habis di-rebonding. Hehehe… saya hanya bisa senyum-senyum salah tingkah. Ucapan lain yang saya ingat dan masih membekas hingga sekarang adalah ucapan beliau ketika saya dan beberapa teman saya tengah duduk di bangku depan sekolah dan dekat parkir motor (memorable betul, makanya saya masih ingat detailnya). Sembari mengelus punggung saya, Beliau berucap, “Neneng ini, calon guru.”. Saya lalu membalas ucapan Beliau sembari tertawa kecil dan heran kenapa Beliau berucap demikian. Dalam hati saya ketika itu, saya tidak ingin jadi guru. Tapi, ucapan Bu Samini kala itu adalah sebuah doa ternyata. Saya memang belum menjadi guru saat ini, tapi hati saya yang dulunya enggan menjadi guru, kini berbalik arah. Kini, saya berkeinginan untuk fokus dalam bidang pengajaran bahasa Indonesia selepas lulus S1 nanti. Iyah, jadi guru. Guru bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA) di luar negeri untuk 2 atau 3 tahun, lalu kemudian menjadi guru bahasa Indonesia SMP/A. *Doain, ya semoga terwujud! Amiin…

Bu Reni
            Jika semasa SMP saya bergidik dengan Fisika (SMA juga masih, sih... Hehehe...), SMA kelas 3 akhir, saya was-was dengan pelajaran musik, yang katanya akan tes gitar. Tes ini adalah salah satu pengambilan nilai untuk UAS (kalau tidak salah, yang jelas krusial sekali.). Brrrr.. dari beberapa bulan sebelumnya saya sudah tidak dapat membayangkan bagaimana ketika tampil nanti.
Terlebih guru pelajaran musik tersebut, terkenal killer. Namanya Bu Reni. Pernah ketika kelas 2, saya dan kelompok terkena semprotan Beliau, lantaran kami tidak ada persiapan untuk perform tugas musik. Ditambah lagi, kami cekikikan saat maju. Beliau lalu berkomentar dengan sinis selepas kami tampil, “Ga ada yang lucu! Kalian liat, kan, dari tadi saya nggak ketawa!”. Kami sekelompok lalu hening. Malu dan menyesal. Kemudian perkataan Beliau tersebut menjadi acuan buat kami untuk berpikir kreatif, kira-kira ide apa yang bagus untuk tampil minggu berikutnya (masih ada kesempatan di minggu berikutnya).
            Di minggu berikutnya, kami tampil se-terbaik mungkin. Serius tampil tanpa cekikikan lagi. You know what? We got A! Dari situ saya paham sifat Beliau, di matanya, siapa pun yang mau berusaha, akan Beliau hargai.
            Owkey, kembali ke tugas musik di kelas 3 akhir. Yup, nyaris saya menyerah dengan tes yang satu ini. Main gitar sambil nyanyi? Di depan seluruh teman sekelas? Whaaattt? Dan katanya tempatnya di aula. AULA? Tidak terbayang, di ruangan seluas itu nyanyi sendirian dengan puluhan pasang mata tertuju pada kita. Di rumah saja saya malu bernyanyi (malu sangat, sangat sangat sangat, yaaa… malu saja kalau suara saya terdengar oleh siapa pun, even itu my mom/dad). Tapi, entah kenapa pada akhirnya, saya memberanikan diri tampil (gilaaa, persiapan saya cuma 2 minggu!). Hufff… rasanya grogi kubik (grogi kubik? Cari di KBBI! Absolutely, nggak akan ada.).
            Eits, ternyata sifat Bu Reni yang saya duga sebelumnya, benar. Saya lulus, dengan nilai 78! Beliau sungguh menghargai muridnya yang mau berusaha. Bukannya saya bangga dengan persiapan saya yang instan, tapi saya bahagia karena Beliau menghargai perjuangan saya untuk berani tampil. Walaupun, suara saya nggak semerdu Raisa dan permainan gitar saya tidak se-jago Balawan. Bukan hal yang mudah buat saya untuk bernyanyi di depan kelas, karena saya pernah punya pengalaman yang tak mengenakkan seputar bernyanyi di depan kelas (bad experience itu terjadi ketika saya duduk di bangku sekolah dasar). Berkat tes gitar tersebut, saya jadi tidak singing-phobia lagi.
Terima kasih Bu Reni… Berkat Ibu, saya jadi berani untuk bernyanyi di depan umum, sendirian! Terima kasih juga, sudah membuat saya tidak bisa tidur semalaman, lantaran berbunga-bunga bisa lulus tes gitar! J Saya masih ingat perkataan Ibu sebelum mengakhiri pelajaran ketika di aula dulu, “Kalau  kita tidak suka dengan satu mata pelajaran, kita harus kenali dulu pelajaran itu. Sama kaya kita mengenal seseorang, jangan bilang tidak suka dulu, tapi kenali dan belajar untuk menyukainya.”. Woaaa… truly inspiring! Masih banyak wejangan dari Beliau yang masih saya ingat hingga detik ini (nggak mungkin kalau saya tulis semua, hehehe…). Sekali lagi, terima kasih, Bu…
Mungkin banyak diantara teman-teman semua yang juga mengalami pengalaman yang  sama dengan saya. Memiliki inspiring teachers semasa duduk di bangku sekolah, dengan berbagai kisah yang tentu terkenang slalu. Beliau-beliau adalah panutan saya. Kelak, ketika impian saya menjadi guru terwujud, saya ingin seperti Beliau-beliau, mengajar dengan tulus, bersahaja dan tentu menginspirasi murid-muridnya. :)

                       Bu Muslimah, guru yang sangat bersahaja dalam film Laskar Pelangi
                                       sumber gambar: jimi-wiser.blogspot.com

Minggu, 01 April 2012

Berkenalan dengan Flora-flora Unik


             Teman-teman pasti penasaran kan,  seperti apa sih rupa flora-flora unik tersebut? Seunik apa mereka? Hmmm… penasaran,  ya? Okeh, deh,  langsung saja kita berkenalan dengan Lithops si batu berbunga, Baobab si pohon botol, dan Dandelion si bunga kapas.

Lithops, Si Batu Berbunga
            Aku tumbuh secara alami di Namimbia, Afrika Selatan, dan Bostwana. Bentukku seperti batu, oleh karena itu banyak juga yang memanggilku si batu hidup. Daunku sebagian besar terkubur di bawah permukaan tanah dan batangku hampir tidak terlihat. Bunga dan daun baru dihasilkan lewat celah antara bunga yang mengandung meristem. Ketika musim dingin tiba, sepasang daunku yang baru akan tumbuh. Dan pada musim semi aku biasanya menggugurkan daunku yang tua. Daunku akan menyusut dan menghilang jika dalam keadaan kekeringan. Warna daunku tidak hijau seperti tumbuhan lain pada umumnya, melainkan berwarna coklat muda hingga tua atau abu-abu. Bentuk daunku juga sangat khas, seperti jendela dan bermotif titik atau garis merah. Aku biasa dibudidayakan dengan biji atau stek. Wah, pasti banyak dari teman-teman yang ingin memilikiku di rumah. Gampang kok, untuk perawatannya aku hanya butuh sinar matahari yang cukup dan aku juga bisa tumbuh dengan baik di tanah yang kering. Untuk menjagaku tetap dalam kondisi kering selama musim dingin, aku biasa disiram hanya ketika daunku yang tua mengering dan digantikan oleh sepasang daun baru. Dalam semua kondisi aku sangat aktif dan membutuhkan banyak air ketika musim gugur. Bentukku yang seperti batu dikarenakan aku hanya memanfaatkan sedikit cahaya matahari. Penampilanku itu membuat mamalia pemakan tumbuhan menganggapku kerikil dan enggan memakanku.
      
                                                                  jmgkids.us 
                                                                                                                
Baobab, Si Pohon Botol
                Teman-teman yang pernah menonton film The Lion King, pasti sudah tak asing lagi denganku. Yup! Rafiki si baboon tinggal di dalamku.  Bagi yang belum mengenalku, perkenalkan, nama ilmiahku Adansonia digitata, orang biasa memanggilku Baobab, si pohon botol. Bentukku menyerupai botol besar dan keanehanku terlihat dari strukturku yang seperti ‘terbalik’. Tinggiku bisa mencapai 5 - 30 meter dan diameter batangku bisa mencapai 7 – 11 meter. Banyak yang mengatakan aku bisa hidup ribuan tahun, tapi hingga saat ini hal itu sulit dibuktikan karena aku tidak menghasilkan lingkaran tahun. Lingkaran tahun merupakan akibat dari proses pertumbuhan jaringan kambium yang membentuk suatu lingkaran pada bagian batang tumbuhan (www.scribd.com). Lingkaran tahun merupakan tanda seberapa lama umur suatu tanaman. Aku biasa ditemukan di sabana Afrika dan India, terutama disekitar khatulistiwa. Aku tidak berdaun selama sembilan bulan setiap tahunnya. Batangku yang seperti botol dikarenakan selama bulan basah aku selalu menyimpan banyak air untuk persediaan sembilan bulan kering kedepan. Semua bagian tubuhku dapat dipergunakan. Di Malawi, Zambia, dan Zimbabwe, daunku dimakan sebagai sayuran daun. Buahku mengandung vitamin C yang lebih banyak dari jeruk dan dalam keadaan yang sudah dikeringkan daging buahku bisa dimakan dan disebut roti monyet. Kulit batangku bisa digunakan untuk membuat pakaian dan tali. Saking uniknya, Pepsi (produk minuman bersoda) Jepang pernah menggunakanku dalam produknya dengan edisi terbatas, disebut Pepsi Baobab yang digambarkan memiliki rasa seperti jeruk. 
                                                                                          sumber:  en.wikipedia.org                    

Dandelion, Si Bunga Kapas
            Nama ilmiahku Taraxacum Officinale. Bentukku yang berbeda dari kebanyakan bunga. Jika bungaku ditiup, menyerupai kapas yang berterbangan. Pada dasarnya aku adalah bunga liar yang tumbuh di halaman rumah, padang rumput yang luas, atau di berbagai tempat, oleh sebab itu banyak yang mengabaikanku. Tapi tidak sedikit lho, orang yang mengagumi keunikanku dan menaruhku di rumah-rumah mereka sebagai tanaman hias. Oh, ya, aku bisa dipergunakan sebagai obat hepatitis lho.

                                              smber gambar : betterlivingwithherbs.com  

Sumber :
Wikipedia.org
 trubus majalah
www.blueplanetbiomes.org
www.ff.unair.ac.id 

Senin, 19 Maret 2012

semoga menginspirasi.... ;)


School of Life
            “Kiri, Pak!” sahutku pada babang angkot. Babang angkot pun menuruniku persis di depan sebuah gedung yang bercat coklat. “Ini, Pak, dua ribu rupiah.” kataku sembari memberi uang dua ribu rupiah pada babang angkot tersebut. Langkah kakiku masih lunglai lantaran selama perjalanan dua jam di bus tadi, aku hanya duduk tanpa bergerak sedikit pun. Itu karena penumpang yang duduk di sebelahku tertidur dengan pulasnya dan mengambil lahan tempat dudukku. Hampir saja ia bersandar di pundakku. Kaki yang pegal barusan, seketika hilang ketika mataku memandangi sebuah gedung yang bercat coklat, yang kini ada di depanku. Kampusku. Kampus yang tak pernah ada dibenakku untuk kujadikan pilihan. Sama sekali aku tak menyangka ketika kuputuskan akan belajar di sini. Entah angin apa yang membawaku kemari. Mungkinkah takdir? Fiuh, aku menghibur diriku dengan berkata dalam hati, “Belajar bisa dimana pun, Luh…”.
            Hari ini ada kumpulan untuk persiapan ospek minggu depan, tempatnya di lantai 5. Dengan wajah yang ku setting agar terlihat tenang, aku menaiki lift menuju lantai 5. Hati ku sama sekali tak tenang. Ini pertama kalinya aku masuk kuliah, teman baru, lingkungan baru, dan tentunya dunia baru. Kuliah tentu akan beda dengan SMA. Disini, di tempat yang akan menjadi tempatku untuk belajar hingga beberapa tahun ke depan, apa bisa kutemukan sahabat-sahabat baru? “Hhhh… cukup, Luh, jangan bikin panik diri sendiri!” kembali suara hatiku menenangkanku.
            Sampailah aku di lantai 5, dan nampaknya itu ruangan tempat kumpulnya. Aku pun bergegas menuju ruangan yang dijaga oleh dua orang di depan pintunya. Pasti seniorku, mukanya agak tidak bersahabat. Sama persis dengan yang kutonton di film-film remaja, senior selalu memasang tampang HORMATI-GUE. “Jurusan apa, De?” tanya salah satu dari mereka. “Gizi, Kak.” jawabku berusaha membalas muka jutek mereka dengan keramahan.
            Di dalam ruangan, aku hanya bisa bersandar di dinding belakang. Semua orang kulihat sudah saling kenal sepertinya. Mereka memang sudah kuliah semester pendek, karena masuk pada gelombang awal. Sementara aku, baru masuk gelombang 4. Menyedihkan sekali, belum ada teman, sementara yang lainnya asyik bercanda.
            “Ayo, Luh, kenalan, jangan diem aja.”. lagi-lagi hatiku yang bicara. Mataku tertuju pada seorang gadis berkulit hitam manis, dengan rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai, dari penampilannya bisa dikategorikan feminim. Aku memilihnya untuk berkenalan karena jka ditelaah dari jauh, agaknya ia ramah. Aku pun memberanikan diri menghampirinya. “Hai, boleh kenalan?” tanya ku. “Oh, iya, boleh. Aku Wita, kamu?” balasnya ramah. Hmmm… dugaanku benar. “Aku Galuh, Galuh Prameswari, jurusan Gizi, kamu?” kataku disusul dengan pertanyaan. “Oh, ya? Aku juga Gizi. Kamu baru daftar ya?’’ ujarnya sembari bertanya lagi. “Iya, aku baru masuk gelombang 4, bareng yah? Boleh?” pintaku. Ia pun mengiyakan, entah kebetulan atau tidak, aku sekelompok ospek dengannya. 

                                                                         ***
            “Dorr!” tiba-tiba Wita mengagetkanku. Membuyarkan ingatanku saat pertama kalinya masuk kampus ini. Wita yang pertama kalinya mengulurkan keramahannya waktu awal masuk dulu, sudah beberapa bulan ini menjadi sahabatku di kampus ini. Oh, ya, lagi-lagi kebetulan, kami berdua  sekelas. Kini kami tidak hanya berdua, tapi bersepuluh. Ada Nurul, yang akrab kami panggil Nyu-nyun. Tidur adalah hobinya, gadis Bangka yang satu ini, suka sekali menggambar. Tadinya ia ingin masuk DKV di salah satu institut swasta di Bandung, namun gagal dan akhirnya takdir membawanya kemari. Berbeda dengan Nyu-nyun, Rusi, gadis Batak berkulit putih dan sering kita panggil ratu mall, dulu ingin sekali tembus FK UI, tapi, lagi-lagi takdir yang .berkata. Lalu ada Adi yang kukenal pertama kali di kelas TOEFL dulu. Cerita ia pun tak jauh berbeda dengan kita, sama-sama terpental dari pilihan masing-masing, lalu terdampar di sini. Masih ada Meli, Resti, Fepy, Bonita, dan Anggi. Iseng, kami membuat kumpulan yang kami namai Maju Mundur. Semboyan kami, Majuuu.
            “Luh, kantin yuuk, laper nih.” ajak Wita. “Yuuu, eh, iya, tugas Anatomi udah?’’ tanyaku. “Udah sih, tapi belum semua. Besok kerjain bareng, yuuk..” jawab Wita. “Ok.” kita pun sepakat besok mengerjakan anatomi bersama, dan meninggalkan perpus untuk menuju kantin.
            Rupanya kami telat, anak-anak yang lain sudah lebih dulu di sana. “Wey, telaaat.!” Resti menyambut kami. “Pasti kalian dari perpus.” tebak Nyu-nyun. “Ko, tau sih?.” aku malah balik bertanya. “Nyu-nyun gituloh!” Nyu-nyun bangga. “Kalian udah pada ngerjain anatomi belum?” tiba-tiba Bonita bersuara. Kami semua menggeleng. “Belum semua, sih.” jelas Wita, yang dikenal paling rajin diantara kami. “Itu kan banyak banget, udah gitu susah lagi.” Hmm… Adalah Bonita selalu bikin kita was-was. Cewek yang selalu tampil dengan rambut belah tengah dan kuncir poni ini, selalu bikin panik kami, dengan dugaan-dugaannya yang tidak separah kenyataannya. “Tapi tadi kata Acit, nggak ah, Bon. Dia kan udah kelar ngerjain.” Rusi mencoba menenangkan kami. “Aduh, Bon, bikin gue was-was aja, nyaris bikin gue ga napsu makan ni baso.” ujar Adi sembari menyeruput kuah baso. “Hahhhahaha…” tawa kami semua. Seketika wajah Bonita menyerupai api yang membara. Hahahaha….
            Sepulang dari kampus, aku memilih untuk membersihkan kamarku. Kosanku berjarak tidak jauh dari kampus, hanya 500 meter. Berada di sebuah kampung yang mayoritas warganya asli Betawi, memberi warna tersendiri bagiku. Pagi-pagi ketika akan berangkat ke kampus, aku selalu disambut oleh bau tidak sedap yang sumbernya dari TPS (Tempat Pembuangan Sampah) yang berada persis di depan kosanku. Kehidupan gang-gang sempit khas Jakarta, benar-benar kurasakan sendiri. Sebelumnya, aku hanya bisa melihat pemukiman padat khas Jakarta hanya dari layar TV. Semuanya menjadi khasanah tersendiri di mataku, Tapi, ada satu hal yang paling aku sebal, entah karena disebelah kosanku adalah KUA, yang kulihat sering sekali orang mengadakan hajat. Hampir di setiap malam minggu. Sialnya terasa ketika aku akan ujian. Organ tunggal, orang yang berdangdut ria, kadang mengganggu konsentrasi belajarku. Walau begitu, kadang aku menikmatinya juga. Pernah suatu ketika, aku sedang enak-enaknya makan siang, tiba-tiba dikejutkan oleh suara dentuman yang nyaris menyerupai suara bom dan meruntuhkan pasir-pasir tembok kamarku yang memang sudah agak rapuh. Kukira itu petasan khas hajatan orang Betawi, ternyata sekumpulan anak kecil yang tengah bermain petasan. Hhahahaha… Ada-ada saja.
            Sekilas kehidupanku tenang-tenang saja, aku terlihat menikmati segalanya, tapi… hatiku bergejolak, dalam tiap renunganku aku selalu bertanya, kenapa aku harus terdampar di sebuah kampus swasta yang namanya bahkan belum dikenal orang. Bagaimana jika aku bekerja nanti? Tentu akan diutamakan mereka yang lulus dari universitas ternama. Aku gamang.
            Malam harinya, ketika aku sudah selesai shalat Isya, aku membaca majalah travel bekas yang kubeli saat iseng-iseng jalan kaki. Sudah menjadi kebiasaanku bertualang dengan berjalan kaki. Tugas Biologi dan Gizi Kuliner sengaja aku skip besok pagi saja. Braak… Tiba-tiba pintu kamarku terbuka, sepertinya ada yang sengaja mendobraknya. Kuperhatikan, tak ada seorang pun yang tampak. Tapi kemudian, “Door! Godain Galuh, ah. Lagi ngapain, Luh?” sapa Kak Dwi mengagetkan. “Lagi baca-baca iseng aja.” jelasku santai. Kak Dwi, teman satu kosku. Di kosan ini ada tujuh orang. Aku, Nindi, Kak Dwi, Kak Uci, Kak Gita, Kak Sofi dan Kak Sri. Kami semua perantauan, apalagi Kak Sri dan Kak Sofi yang jauh datang dari Papua. Fiuhh… aku menghela nafas lega. Ternyata Kak Dwi. “Luh, lo mau ke Italia, ya?” tiba-tiba Kak Dwi bertanya itu, mungkin ia melihat peta Italia yang sengaja aku sobek dari Atlas punya adikku, dan kutempel di dinding. “Ya, gitu deh, ko tau, Kak?” tanyaku heran. “Yaiyalah, tuh, kenapa ada gambar Italia disitu?” balasnya. ‘’Apaan nih? Luh, lo demen jalan-jalan, yah?” tanya Kak Dwi lagi. Rupanya ia memperhatikan buku travel bekas yang sedang ku baca. “Yup!” jawabku yakin. Sepertinya Kak Dwi sedang menganalisis benda-benda yang ada dikamarku, dan kali ini, brosur UI yang kutempel di lemari menjadi target pertanyaan selanjutnya. “Lo mau banget di UI, ya, Luh?” tanyanya lagi. Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba Nindi yang kami juluki orang kaya lantaran demen jajan plus belanja, ikut nimbrung. “Heyy, gosiiip muluu!” ujarnya dengan mimik ala Feny Rose. “Kenapa? Mau ikutan?” jawab Kak Dwi. Kami bertiga memang sering ngobrol, dari tentang anak Autis hingga masalah percintaan. “Luh, tadi lo belum jawab pertanyaan gue.” Kak Dwi mengingatkan. “Ga tau kenapa, aku masih pingin wujudin keinginan aku kuliah di sana. Rencananya, aku pingin nyoba tes lagi tahun ini.” jelasku.
            “Gue juga dulu pingin di UI, tapi.. yaudahlah, emang di sini yang terbaik buat gue. Gue bersyukur, Fisioterapi yang paling bagus kan, di sini, di kampus kita.” Nindi bersuara. “Emang apaan yang bikin lo pingin ke UI? Belajar, dimana-mana sama, Luh.” sambung Nindi lagi. “Gue ga maksud bandingin kampus kita sama UI, Ndi. Gue cuma pingin buktiin ke diri gue, gue bisa masuk universitas yang ternama. Suatu saat gue kerja, gue ga takut bersaing dengan yang lain.’’ jawabku gamang. “Yaelah, ga usah khawatir kali. Kampus kita kan cukup tenar juga.” Nindi berusaha menghibur diri. “Galuh bener, Ndi. Gue udah capek kali, tiap ditanya orang, kuliah dimana, gue jawab kampus kita, eh, ga ada yang tau. Cuma dikit yang tau.” Cerita Kak Dwi. “Berarti lo punya niatan pindah, Luh?” Kak Dwi mengintrogasiku lagi. “Baru rencana sih.” jawabku pelan. “Orang tua lo, setuju?” ujar Kak Dwi dengan muka penasaran. “Agak kurang setuju, sih. Hhh…” jawabku gamang. “Gue saranin sih, mending jangan, takut tua diumur, Luh. Sayang kali, ketinggalan setahun.” saran Nindi. “Orang tuh beda-beda, Ndi.” terang Kak Dwi. “Sebenernya takut juga kalau nyoba tes lagi. Tapi, kalau ga dicoba, mana tau kita bisa apa engga, kan?” jelasku. “Kemaren lo belum nyoba UI?” tanya Nindi. “Belum, Ndi, seleksi PTN kemaren, gue gagal dan belum sempet nyoba UI. Walaupun kalau gue nyoba, belum tentu dapet, gue masih pingin nyoba.” jelasku. “Kalau lo ntar pingin nyoba lagi, gimana pun hasilnya, lo jangan pernah sesalin, Luh.” nasihat Kak Dwi.
            “Gue yakin, Luh, orang yang gigih kaya lo, bisa wujudin impian.” Kak Dwi memberiku semangat. Aku seperti mendapat dorongan semangat dari kata-kata Kak Dwi barusan. “Gue juga sempet ngalamin apa yang lo rasain sekarang, Luh, tapi sekarang gue udah lewatin masa-masa itu. Tuhan itu adil, kenapa gue ditempatin di sini. Dulu gue orangnya pendiam banget dan saking diemnya, orang segan deketin gue, tapi, semenjak gue kuliah di sini, gue ketemu temen-temen yang rame, dan… lo liat kan sekarang? Setiap pilihan itu ada enak dan gak enaknya, Luh. Bersyukur adalah jalan satu-satunya supaya kita bisa lewatin semuanya, semangat, Luh!” Kak Dwi kembali mengeluarkan senjata andalannya, suntikan semangat. “Yups, tengkyu, Kak.” jawabku, kali ini dengan penuh semangat. “Beli makan, yuu… “ seketika Nindi mengajak kami pergi keluar membeli makan. “Yuuu…” aku dan Kak Dwi kompak. “Aku mau Ayam Bakar, ah.” ujar Nindi. “Wuuu… orang kayaaa.” kita berdua berseru. Obrolan kami tutup, dan kemudian kami pergi membeli makan.
            Esok paginya, aku bangun pagi dengan semangat. Bau sampah yang menyengat, begitu aku membuka pintu kosan, tak kuhiraukan. Langkah kaki terasa ringan, efek dari kata-kata nasihat Kak Dwi semalam. Ini mungkin yang disebut kata-kata motivasi. Benar-benar menginspirasi. Jam di handphoneku masih menunjuk pukul 07.30. Aku memutuskan nangkring di perpus dahulu, sebelum kuliah pukul 09.30 dimulai. Aku tahu perpus pagi-pagi begini belum dibuka, pasti sedang dibersihkan, tapi sengaja aku datang awal dan memilih duduk di bangku depan perpus. Tujuanku adalah membooking komputer nomor dua, yang selalu kupakai untuk internetan dan mengetik tugas. Maklum, aku belum memiliki laptop. Untungnya, di perpusku ini, tersedia tiga unit komputer. Walaupun yang ada Ms. Word dan bisa akses internet hanya yang nomor dua. Itu sebabnya aku selalu membooking yang nomor dua. ‘’Pak, boleh, naruh tas di dalem? Cuma naruh tas aja kok, Pak.” tanyaku pada Bapak penjaga perpus. “Boleh.” jawabnya ramah. Sepertinya ia telah hapal dengan kebiasaanku membooking komputer nomor dua. Selepas menaruh tas di dalam perpus, aku kembali duduk di bangku depan perpus. Duduk sambil melihat ke arah dalam ruangan yang sedang dibersihkan dan berisi buku-buku. “Kamu harus bersyukur kulish disini, Luh… “ kataku dalam hati.
Saat di kelas Ilmu Bahan Makanan, “Hari ini lo semangat banget, Luh. Kayanya sumringah beneeerr..” sapa Adi. Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Jika kemarin-kemarin aku selalu menyanggah perkataan Pak Martin, lantaran nada bicaranya yang sombong, kini materi dari Beliau kutelan dengan nikmat. Tak kupedulikan lagi nada bicaranya yang congkak. “Harus tahan, Luh. Dia bukan sombong, hanya kelewat pintar. Profesor gitu loh.. Kapan lagi diajar sama professor…”
Karena hari ini hanya satu matakuliah, pukul 11.30, aku sudah pulang. Janji mengerjakan tugas bersama, kami pending esok hari, lantaran Wita ada urusan dadakan yang amat penting. Acara jalan-jalan keluarganya. Lagipula anak-anak Maju Mundur lainnya, memilih pergi nonton bioskop. Aku yang terdesak dengan kantong yang menipis, menolak ajakan Maju Mundur untuk nonton bioskop. Harap maklum, tanggal tua. Mereka pun, mengerti keadaanku.
Hal yang patut kusyukuri lagi, selama di sini adalah mendapat sahabat-sahabat yang baik dan menerima apa adanya aku. Aku yang notabene datang dari kota kecil dan tidak berpenampilan selayaknya muda-mudi ibu kota kebanyakan. Pernah suatu ketika, Aku, Nyu-nyun, dan Wita pergi hang out ke salah satu mall yang letaknya tidak jauh dari kampus kami, kami memutuskan makan di salah satu restoran Jepang cepat saji. Wita dan Nyu-nyun memesan Chicken Katsu, sementara aku dengan polosnya mengeluarkan kotak makanku yang berisi nasi, telur dadar dan sambal ijo yang kubeli di warung Padang. Tidak terlihat rasa malu di wajah mereka saat melihat aksiku, entah dalam hati mereka seperti apa. Walaupun aku tahu beberapa pelayan melihat aneh ke arahku.
Kembali ke siang, pukul 11.30 tadi, sesampainya aku di kosan, perutku begitu keroncongan, sialnya, aku tidak sempat membeli nasi untuk makan siang. Apa daya, aku bergegas mengambil mie instan dan memilih untuk merebusnya di bawah. Di kosanku ada dapur, tapi menyatu dengan rumah ibu kos ku, yang terletak di lantai bawah. “Eh, ada Galuh, masak mie ni yee..” sapa ibu kos ku hangat, begitu aku sampai dapur. “Iya nih, bu. Hehehe.” jawabku. “Nanti kalau mau nasi, ambil aja. Ga usah malu-malu.” tawar Ibu. “Makasih, Bu. Jadi ngerepotin. Hehehe…” ujarku malu-malu. “Ga papa, Galuh ini, suka malu-malu.” kata Ibu lagi. Setelah selesai memasak mie, aku pun kembali naik tangga menuju kamarku dan siap menyantap mie instan yang dilengkapi nasi pemberian Ibu. Hmm… nikmatnya. Ibu kos ku perhatian sekali, selalu menawariku nasi jika aku sedang memasak mie di dapur. Pernah, di suatu sore, kami yang tengah nonton TV di atas, terbatuk-batuk karena mencium wangi tumisan. Ibu sedang memasak Tumis Tahu rupanya. Agaknya Ibu mendengar kami, anak kosnya terbatuk-batuk di lantai atas. “Siapa itu yang batuk-batuk?” tanya Ibu. Kami semua terkekeh sambil menuding satu sama lain. “Galuh, Bu. Pingin katanya.” ujar Kak Dwi bercanda. “Bukan, Bu. Nindi.” kataku menuding Nindi. Hihiihi… “Boong, Bu, Galuh ni, Bu.” gantian Kak Sofi yang menudingku. Tak berapa lama, Ibu naik ke atas, dan memberi kami semangkuk Tumis Tahu. Kami mencicipinya bersama-sama. Hmm… Lezatnya sampai ke ubun-ubun. Tahu, apa yang membuat Tumis Tahu ini enak? Yup! Suasananya. Kebersamaan yang sangat akrab yang mengobati rasa rindu kami akan keluarga masing-masing.



“It’s in my life, my heart, my soul
my sense of love…
There, I will try to find, a peace of mind..

And in my life, my heart, my soul,
My sense of love…
The living pearls of life for me to find..
In my mind, so my heart won’t go blind…
In my life…”
                                      Sherina- My life

                                                          ***
Tes.. Air mataku tiba-tiba menetes, jatuh di atas scrapbook yang berisi foto-foto dan opini mereka tentangku. Kado dari Maju Mundur. Aku tak kuasa membuka halamannya lagi. Berbagai kenangan terangkum di situ. Foto-foto ketika kami menginap di rumah Wita karena kemalaman, selepas dari menengok Meli yang sedang sakit kala itu. Foto-foto ketika di salah satu kedai es krim tua, sehabis membeli buku di Senen, dan sempat beradu mulut untuk menawar buku Gizi dengan seorang penjual buku yang laganya seperti preman. Belum lagi foto-foto kami yang dengan noraknya berpose di lobi lantai dua. Kampus serasa milik kami ketika itu.
Kini aku tidak lagi di sana. Kebaikan Ibu kosku, kehangatan teman-teman satu kos ku, obrolanku tentang impian dengan Kak Dwi yang kini sudah menjadi sarjana Psikologi dan Nindi di malam itu, benar-benar kenangan yang menempel dan mengena di hati hingga saat ini. Belum lagi suasana kos ku dulu yang unik. Kini aku berkuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di Bandung Utara, dan tak pernah kulupakan semua kenangan manis itu. Ya, selepas kulewati satu semester di kampusku dulu, dengan berbagai pertimbangan, akhirnya aku memutuskan untuk mengikuti seleksi nasional PTN untuk kedua kalinya. Seperti nasihat Kak Dwi dulu, “Apapun hasilnya, jangan pernah lo sesalin, Luh.”. Aku akhirnya lulus ujian saringan nasional tersebut, walau bukan di UI, tapi aku bersyukur. Impian ku untuk masuk PTN terwujud.
Pernah berkuliah di kampus lamaku dulu, adalah episode terindah dalam hidupku. Merasakan indahnya kehangatan keluarga kedua dan  sahabat-sahabat yang pengertian. Aku belajar banyak tentang hidup dari kampus dan lingkungan kos ku dulu.  Dari kampus swasta di bilangan Jakarta Barat yang namanya tak begitu dikenal itulah aku banyak belajar. Tentang hidup, bahwa hidup harus slalu bersyukur, walau berada di tempat yang tak pernah diingini sekalipun. Kampus dan kosan yang sudah seperti sekolah kehidupan bagiku. Kuberi nama School of life.

*waktu nulis ini, saya ketawa, menangis, dan terharu sendirian. Truly memorable, guys... 

Ups, ada cerpen baru, guys!



Ups, Jimbe, I’m in Love!

          “Dua minggu lagi kita ujian aransemen, buat nilai UTS ! So, persiapkan diri kalian. Oh, ya, saya minta minggu depan kalian udah punya konsep masing-masing, okey?” tegas Bu Ires. Seketika kelas kami riuh. “Oh, ya, bagi kelompok sekarang juga, lima atau enam orang cukup. Okey? Selamat siang dan sampai jumpa minggu depan!” ujar Bu Ires mengakhiri pelajaran sembari memasang ekspresi SELAMAT-MENGERJAKAN-ARANSEMEN-ANAK-ANAKKU-SAYANG! Seketika kelas kami riuh. Rai, selaku ketua kelas kami, angkat bicara, “Wey, Attention please! Guys, mulai bagi kelompok ya… Yo, berhitung dari depan, 1 sampe 6 yah… Mulai !”. Giliranku, “Tiga!” teriakku lantang. Selepas seisi kelas berhitung, giliran Asti menulis nama-nama anggota kelompok di papan tulis. Aku yang tak begitu antusias dengan pelajaran seni musik, memilih mengisi LKS Biologi saja. Sampai terdengar suara Asti menyebut teman-teman sekelompokku, “Kelompok tiga , Ari, Joni, Dwi, Saski, Adi, dan Raden. Ok, lanjut kelompok empaaat..”. “WHAT? Gue sekelompok sama Ari? Ari Nugraha yang menurut trade record temen-temen, orangnya perfeksionis abis. Arrghh…. Tamat gue! Mana gue ga jago main musik lagi. Arrghhhh…” gerutu ku dalam hati. Seketika LKS Biologi ku coret-coret.
Teet-teet-teet, bel istirahat berbunyi. “Arrrgghh… bête, bête, bête, bêteeeee!” teriakku pada Dira yang sedang asyik baca Conan di Basecamp kita yang terletak di tangga menuju Laboratorium.  “Kenape lo? Autis!” tanya Dira heran. “Gue sekelompok aransemen sama Si Mr. Per-fek, ARI NUGRAHA! Itu artinya, gue kudu siap dibentak-bentak, diatur-atur, pokoknya, Arghhhhh….!” jelasku panjang lebar dan penuh emosi. “Yaelah, nikmatin aje kali.” ujar Dira santai. “Weey, udah pada nongkrong aje ni ibu-ibu PKK.” tiba-tiba Thea yang baru kelar pelajaran Geografi ikut nimbrung. “Muke lo nape, Sas?” tanya Thea, yang heran dengan ekspresi bête ku. “Gue sekelompok aransemen sama Si Mr. PER-FEK ARI-NUGRAHA!” ke-bete-an ku memuncak. “Lebay lo! Yaudah kali, lo terima aje. Gue juga sekelempok sama orang yang paling gue sebel di kelas, tapi gue fine-fine aje tuh. Yaudah nikmatin aje kali, Sas.” saran Thea. “Hhhh… iya iya, ok, perut gue ude laperrr niy, kantin yuu..” pintaku pada Dira dan Thea. “Kalian ga mau nunggu Rahma sama Nunik?” tiba-tiba Dira ngingetin kita, masih ada dua anggota kita, yang belum kelar pelajaran. “Oh, iya!” ujar Thea dan aku.
Keesokan harinya, pagi yang cerah ceria tiba-tiba berubah menjadi abu-abu. “Sas, sini! Kita lagi ngomongin konsep buat aransemen nanti.” Ari menyapa aku yang baru saja beberapa langkah sampai di kelas. Dengan muka yang ku setting seolah bahagia disambut oleh sapaan ketusnya, aku melangkah menuju gerombolan kelompokku. ”Semalem gue udah kelar bikin konsepnya. Nanti kita bakal nampilin lagu Disco Lazy Time-nya Nidji yang bakal diiringin sama jimbe dan…. Yaa, sentuhan Afrika gitu deh.” jelasnya panjang lebar and of course dengan nada bicaranya yang congkak. Seketika aku senyum-senyum sendiri membayangkan Ari memakai kostum ala suku-suku Afrika dan bicara dalam bahasa Tarzan. “Kenapa lo, Sas? Ketawa-ketawa sendiri. Pikirin dong konsep kita gimana, ini bukan main-main kali, nilai UTS kita diambil dari sini!” tegur Mr. Perfek yang menangkap ekspresi mesem-mesemku. “Always nilai! Ga bisa apa… sekalii aja, ga mikirin nilai?” gerutuku dalam hati. Yeah, bukan rahasia umum lagi, kalau Ari hobi banget mentingin nilai. Pernah satu kali dia nonjok tembok, cuma gara-gara nilai Matematikanya 97! What? 97 tuh udah bagus banget kali! Aku aja yang dapet 81, jingkrak-jingkrak kegirangan! Sekolah tuh bukan cuma nilai, nilai, dan nilai aja! “Kenapa gue ga dapet 100?!” gerutu Ari sambil menonjok tembok kala itu. I don’t think he have a girl friend. Knock knock on the wood deh,  jangan sampe aku punya cowok yang ambisius kaya dia.
Siang ini aku absen ke kantin bareng sohib-sohibku. Ya, apalagi kalau bukan kerja kelompok aransemen. “Karena kita butuh jimbe, Sas, lo ambil jimbe di Mushola ya. Pinjem punya anak-anak Nasyid. Ga pake lama, ya!” dengan enaknya Mr. Perfek menyuruhku mengambil jimbe. “Ambil jimbe? Gue? Becanda lo, Ri! Gue kan cewek! Kan ada Joni sama Adi. Masa gue yang ambil? Arghhhhh!” emosiku dalam hati. “Joni sama Ari lagi pinjem gitar.” terang Ari, seolah membaca pikiranku. Hufh… Aku menghela nafas sabar dan tanpa perlawanan aku mengikuti arahannya. Entah aku habis menelan pil apa, aku jadi sabar begini. Mungkin efek nemenin Bunda nonton ceramahnya Mamah Dedeh tadi pagi. “Jadi orang harus sabar.” nasihat Mamah Dedeh. Ok, back to the real situation, tidak terbayang mengangkat jimbe dari Mushola sampai kelas. Naik tangga lagi! Hhhhh…. Tubuhku lunglai. “Oh, ya, Sas, sekalian sama rebana juga ya!” Ari menyahutiku dari jauh. Hhhhh…. Arggghhhhhh…. Aku autis sendiri sambil jalan menuju Mushola. Terdengar suara cekikikan dari kelas 11 IPA 2 yang kulewati, pasti mereka menertawaiku. Mungkin aku bakal di cap sebagai kakak kelas yang paling aneh. Ahhh, peduli amat. Membawa jimbe yang ditambah rebana di atasnya lebih-lebih beratnya dari mengangkat galon air yang biasa aku lakukan di rumah. Haaaaaa… berat sekaliiii… rasanya pinggang ini encok!
“Dwi, Joni, sama Raden, nyanyi. Gue gitar, Adi pegang jimbe, dan lo, Sas, main rebana.” atur Ari. “Ini teksnya, kalian yang nyanyi hapalin di rumah, Di, lo ikutin musiknya, pokoknya yang pegang jimbe sama rebana, tugas kalian sebagai pengiring. Ketukannya ikutin gue.” jelas Ari. “Pegang rebana? Hhhh… kenapa ga lagu religi aja sekalian?” omongku dalam hati.        Teet-teet, bel berbunyi dua kali, tanda jam istirahat habis. “Ok, ntar abis balik skul, kita lanjut. Alat-alat taruh di belakang kelas aja.” suruh Ari. Kami yang sejak tadi latihan di depan Lab, bergegas kembali ke kelas. Untungnya, sekarang Adi yang bawain jimbe. Aku kebagian membawa rebana saja. Yes!
Sepulang sekolah aku melangkah menuju kelas IPS 3, aku bermaksud memberitahu Rahma kalau hari ini aku ga bisa balik bareng. “Ma, gue ada latian aransemen, kalian balik duluan aja.” kataku. “Oh, ok, balik sendiri berani, kan?” tanya Rahma. “Berani,lah,emmm… btw, doain gue ya, biar gue bisa tahan sekelompok sama Si Mr. Perfek.’’ ujarku pada Rahma. “Mmm, ntar juga lo tahan. Awas, ati-ati lo, jangan kelewat sebel ma seseorang, bisa-bisa jatuh cintrong lagi!” canda Rahma. “Hah? Jatuh cintrong? Sama dia? Knock knock on the wood deh gue! Orang nyebelin kaya dia, pantesnya dibuang ke Segitiga Bermuda!” ucapku sebal.  “Emm, sebel itu artinya seneng betul, loh!” goda Rahma. “Udah-udah, cukup, gue balik ke kelas dulu, ya, sebelum gue dimarahin sama Si Bos Ari.” ujarku sembari ancang-ancang balik ke kelas. “Mmm, sekarang diganti ya, namanya. Tadi Mr. Perfek, sekarang Si Bos, besok?” kata Rahma lagi. Aku buru-buru tutup kuping. “Awas, Sas, ntar jatuh cintrong!” terdengar suara Rahma berteriak. Aku yang tak menghiraukan teriakannya, bergegas menuju kelas.
“Mulai yah…” Ari mengomando kami. “Wake me up tonight...” yang kebagian vokal, mulai menyanyi. Sementara aku dan Adi mengiringi gitar yang dimainkan Ari. Hmmm… lumayan, dengan sendirinya aku mulai menikmati. Latihan pun usai, dan akan disambung esok hari. Sebelum balik,  “Sas, anterin gue balikin jimbe sama rebana, dong! Gue yang bawa sampe depan Mushola, tapi ntar lo yang gotong sampe dalem Musholanya.” Ari sempet-sempetnya menyuruhku. Hhhh…
Besoknya, sebelum bel masuk berbunyi, aku meluapkan kekesalanku pada Si Bos, panggilan baru untuk Ari Si Mr. Perfek, pada sohib-sohibku. “Gila, ganas juga tuh cowok. Masa lo disuruh gotong jimbe segala?” tanya Nunik heran. Aku mengangguk. “Sabar ya, Sas. Kita turut prihatin. Hhahaha” canda Thea. “Puas ya, liat gue menderita?” kataku ketus. “Tenang aja, Sas, Baim celalu doain, Saski, kok. Amiin.” ledek Dira, meniru dialog sinetron yang diperankan Baim Cilik. Seketika sohib-sohibku tertawa lepas. Aku pun tak kuasa menahan tawa. “Nah, gitu dong, betenya di-skip dulu.” kata Thea. “Bentar lagi bel nih, itung, ya, 1, 2, 3.” duga Rahma tiba-tiba. Dan, benar, teet-teet, bel masuk berbunyi. “Sampai jumpa jam istirahat ya, kawan!” kata Thea, mengakhiri obrolan pagi kami.
Di kelas, di sela jam pelajaran Bahasa Indonesia, “Sas, ntar balik skul, lo ambil jimbe lagi ya, rebananya juga jangan lupa!” suruh Ari dengan ketusnya. “Kenapa ga Joni atau Adi gitu! Gue kan…” aku tak meneruskan perkataanku. “Yaudah lo suruh Joni aja.” ujar Ari dengan tenangnya. Arghhhh…  Dan selepas pelajaran Bahasa Indonesia habis, aku bergerak menuju mejanya Joni, “Jon, siang ini lo yang ambil jimbe di Mushola, ya.” pintaku pada Joni. “Sorry, Sas, gue lagi asik main rubik nih.” ujar Joni dengan entengnya. “Okey, sabar, Sas, sabaaaarrr…” aku menenangkan diri dalam hati.
Sepulang sekolah, dengan amat sangat terpaksa, aku mengambil jimbe di Mushola. Ya ampuun, seperti yang sudah-sudah, beraaatt sekali. Sesampainya aku di kelas, tubuhku benar-benar lunglai. “Ok, mulai latian!” kembali Ari mengomando kami. “This is disco lazy time.. I want you, I need you…” Dwi, Raden, dan Joni bernyanyi dengan merdunya. “Sas, lo ntar bagian pembuka ya, tanda kita mulai, pokoknya 3 atau 4 pukulan. Ok?” Ari menginstruksiku. “Ok.” jawabku.
Latihan selesai, dan seperti biasa, setiap selesai latihan, Ari menghampiriku, “Sas, lo anterin gue balikin jimbe ya. tugas lo cuma anterin aja, trus….”, “Sampe Mushola, gue yang gotong.” belum sempat Ari bicara, sudah kupotong. Sepanjang perjalanan menuju Mushola, kami berdua hening. Karena kami latihan sampai sore, sohib-sohibku sudah pada pulang, dan aku was-was, angkot jam segini sepertinya sudah tidak ada. Fiuh…. Aku pulang lewat gerbang belakang, dekat kantin dan parkiran motor. Sekolah agak sepi, hanya terdengar suara senior paskibra yang sedang memarahi adik-adik yuniornya saja. Saat itu, tiba-tiba terdengar suara, “Sas, mau bareng ga?” panggil Ari. Aku menoleh dan mencari sumber suara. Hah? Ari? Dia ngajak balik bareng? Tumben, dia baik. Belum sempat aku menjawab, Ari kembali berkata, “Udah deh, bareng aja. Lagian jam segini udah ga ada angkot kali! Ga usah gengsi sama gue!”. Aku menghela nafas. Nada sombongnya itu… Bahkan, disaat memberi pertolongan pun, dia bicara dengan nada yang congkak. Karena tidak ada pilihan lain, aku akhirnya pulang dengan… Si Bos!
“Thanks ya, Ri.” Ucapku sesampainya aku di depan rumah. “Welcome.” Ari membalas dengan senyuman. Wow, seorang Ari Nugraha yang terkenal angkuh, ambisius dan perfeksionis itu tersenyum padaku! Ya ampun, senyumnya manis juga. Sampai di pintu rumah, Bunda terheran-heran melihatku yang pulang dengan ekspresi sumringah. Ini aneh, ada apa ini? Kenapa aku girang banget, ya?
Besok paginya, “What? Dia nganter lo balik?” tanya Thea. “Yup!” jawabku dengan sumringah. “Wah, bakal dapet PJ, nih kita!” Rahma berseru. “Apaan, dia baru nganterin gue balik sekali doang, kok!” kataku. “Senyumnya itu, loh, maniisss banget. Gue baru tau orang yang angkuh kaya dia, kalo lagi senyum, manisnya ga ketulungan.” lanjutku. “Awas, Sas, ntar lo diabetes lagi, gara-gara kemanisan.” canda Dira yang seperti biasanya, always make us laugh! Hahhahaha… “Tuh, kan bener dugaan gue, gue bilang juga apa, jangan kelewat sebel sama seseorang, terbukti kan, lo jadi demen!” terang Rahma. “Yee, gue kan ga bilang gue demen.” Aku mengelak. “Tapi dari ekspresi lo, keliatan banget lo seneng dianter sama dia, lo juga seneng kan, liat dia senyum.” jelas Nunik.
Teet-teet, bel masuk berbunyi. “Ok, sampai ketemu jam istirahat, Guys!” kali ini giliran Nunik yang menutup acara obrol-obrol seru kami.

                                                                        ***
            Tak terasa, dua minggu sudah terlewati, latihan demi latihan sudah kelompok kami lalui. Persiapan sudah matang. Meminjam dan mengembalikan jimbe ke Mushola pun sudah menjadi rutinitasku. Tapi aku tidak lagi menggerutu. Kan, Ari selalu nemenin. Hehehe… Ga ada lagi kecanggungan diantara kami berdua. Tiap jalan berdua menuju Mushola, kami tidak lagi hening. Dari obrolan-obrolan kami, terungkap kalau ternyata, seorang Ari Nugaraha yang angkuh, perfeksionis, dan ambisius, suka menonton Pororo. Hihihi… Ga nyangka deh… Dia juga suka nonton Opera Van Java, dan… Wow, ternyata dia punya sisi humoris juga, dibalik keseriusannya. Oh, ya, kita juga jadi sering pulang bareng. Hhehehe…
            Tiba waktunya di hari kami tampil. Anak-anak sekelas terlihat antusias berlatih. Wow, masing-masing kelompok sudah mempersiapkan konsep yang unik-unik. Kini, giliran kelompok kami. Rebana yang kupukul tiga kali, menjadi pertanda musik dimulai. “This is disco lazy time… I want you, I need you…” terdengar suara Raden, Dwi, dan Joni saat bagian reff-nya. Wow, kami mendapat banyak applause, Bu Ires pun memamerkan senyumnya, tanda ia menyukai penampilan kami. Senangnya… Dan, sesaat setelah kami selesai main, Ari yang masih pegang gitar, tersenyum ke arahku. Aku terperanjat dan membalas senyumnya. Ya ampuuun, senengnya kuadrat deh!
            Jam pelajaran musik pun, usai. Bel istirahat berbunyi. Teet-teet-teet. Aku bergegas menuju Basecamp, tak sabar ingin segera bercerita dengan sohib-sohibku tersayang. Tapi, tiba-tiba Ari memanggilku, “Sas, tunggu!”. Dia lalu menghampiriku dan berkata, “Thanks ya, good job loh, tadi.”. “Welcome, lo juga good job. I mean, kita semua, kelompok tiga. Hehehe…” balasku grogi. “Oh, ya, thanks juga ya, selama ini dah bantuin gue ambil jimbe.” ucapnya malu-malu. “Ya, sama-sama. Nanti mau gue anterin balikin jimbenya ga?”  tawarku. “Engga, ga usah, biar gue aja ntar sama Adi.” ujar Ari. “Yah, padahal kan gue pingin berduaan sama lo, Ri.” harapku dalam hati. “Mmm… ntar siang, mau ga lo balik bareng gue lagi? Iya, gue tau kita udah ga ada latian lagi, tapi boleh, kan, gue nganter lo balik siang ini?” ajak Ari. “Emm… Boleh.” aku menjawab dengan pipi yang bersemu merah. “Yaudah, ya, gue ke sana dulu.” aku mengakhiri percakapan sembari menengok ke arah Basecamp. Aku ga sanggup lama-lama berhadapan sama Ari. Aduh, aku grogi banget! “Ok.” Jawab Ari mempersilahkanku sambil memamerkan senyum manis andalannya yang sukses membuatku terbang melayang.
            Aku berjalan menuju Bascamp sambil senyum-senyum sendiri, dalam hati aku girangnya luar biasa, Ya ampun, kayanya aku jatuh cintrong deh. Gara-gara keseringan ambil jimbe bareng Ari, gara-gara sering pulang bareng Ari, dan gara-gara disenyumin Ari terus. Hihihi… Dalam perjalanan menuju Basecamp, aku melihat dua orang cowok IPA 4 bergotongan mengangkut jimbe. Bikin aku tambah senyum-senyum sendiri. Ups, Jimbe, I’m in Love!

Kenaikan Harga, Asyik?


         “Asyiknya kenaikan harga…” begitulah jargon salah satu brand rokok ternama yang saya lihat di sebuah billboard, ketika berada di dalam angkot menuju kampus. Pada billboard yang terletak di bundaran menuju Jl. Cipaganti tersebut, diilustrasikan tiga orang (tampaknya karyawan) sedang menyatap bekal makanan bersama. Maksud dari ilustrasi tersebut, kita tetap bisa asyik menikmati kenaikan harga. Membawa bekal dari rumah menjadi alternatif, daripada harus membeli makan di luar. Ada benarnya juga maksud ilustrasi tersebut. Hikmah dari kenaikan harga, kita bisa botram (makan bersama-sama dalam istilah Sunda) di taman kampus atau kantor. Suasana menjadi lebih akrab dan tentunya lebih hemat.
            Tapi, apa benar kenaikan harga itu asyik? Premium naik, dan biasanya akan disusul dengan kenaikan tarif angkutan kota. Tentu ini masalah bagi saya, anak kos yang sehari-hari setia menggunakan angkutan kota. Sebagian anda yang hobi berjalan kaki atau bersepeda menuju kampus atau kantor, tentu kenaikan premium bukan menjadi soal. Berbeda dengan saya, jarak dari Lengkong Besar ke Setiabudhi mungkin tidak bisa ditempuh dalam waktu singkat dengan sepeda. Walaupun disiasati dengan berangkat lebih pagi. Belum lagi macet.
            Mungkin, kecemasan saya akan kenaikan harga tidak sebanding dengan kesulitan yang akan dialami oleh para orang tua dari kalangan menengah ke bawah, yang merupakan mayoritas di negeri kita. Jutaan ibu mungkin akan dilanda kegalauan, bagaimana menyiasati kenaikan harga. Harga beras yang melambung dan ongkos serta jajan anak-anaknya yang naik, sementara penghasilan suami terbilang ngepas.
            Belum lagi berbagai pedagang kelas menengah ke bawah yang harus gigit jari, lantaran untung yang diperoleh akan menipis. Menaikkan harga jual dirasa akan mengurangi jumlah pelanggan. Pengusaha industri rumahan juga termasuk yang cemas dikala harga melambung. Bahan baku yang melambung lantaran kenaikan BBM, akan merampas sebagian laba atau bahkan merugi. Bukan tidak mungkin, surplus karyawan akan diberlakukan demi menyelamatkan usaha. Angka pengangguran bisa jadi meningkat.
            Bagaimana? Apa kenaikan harga masih bisa dibilang asyik jika sudah begini? Jika kita melihat hikmahnya, bisa jadi, kenaikan harga itu asyik. Sebagian anda yang sebelumnya tidak pernah membawa bekal untuk botram di kampus atau kantor, tentu kenaikan harga berefek rutinitas baru yang asyik. Anda yang sebelumnya membiarkan sepeda tertutup debu di gudang, kini bersepeda menuju kampus atau kantor menjadi alternatif yang asyik dan menyehatkan (selama jarak yang ditempuh tidak terlalu jauh).
            Dapat saya tarik garis merahnya, kenaikan harga adalah keasyikan mencari solusi. Memaksa otak untuk bekerja kreatif mencari alternatif. Bagi jutaan ibu yang kesulitan menyiasati kenaikan harga, membuka usaha sampingan bisa jadi alternatif yang mengasyikan. Semisal, membuka jasa jahitan atau menjual tas dan sandal dari limbah plastik bekas deterjen, yang tidak membutuhkan modal besar.



Minggu, 04 Maret 2012

Menikmati Budaya Belanda di Erasmus Huis


             Ayo, acungkan tangan, bagi anda yang sudah tidak tahan ingin ke Belanda! 1, 2, 3, 4, 37, 78, 112,… Wow! Banyak sekali sepertinya. Ok, siapkan diri anda, karena sebentar lagi kita akan berkelana ke negeri kincir angin tersebut. Eits, anda tidak usah repot-repot menyiapkan visa dan passport, lho! Cukup siapkan ongkos untuk bus Transjakarta dan sedikit bekal, kok. Lho? Belanda yang saya maksud bukanlah negeri Belanda yang sesungguhnya, melainkan pusat budayanya yang bernama Erasmus Huis.
            Sebagian anda mungkin masih asing dengan Erasmus Huis. Erasmus Huis adalah pusat budaya Belanda yang terletak di Jl. H.R. Rasuna Said, Kav. S-3, Kuningan, Jakarta Selatan (merupakan kompleks kedutaan asing). Erasmus Huis serangkaian dengan kedutaan Belanda. Di dalamnya terdapat perpustakaan, ruang seni, restoran yang menyajikan masakan khas Belanda, dan tempat kursus bahasa Belanda.
            Pertama kali kita menginjakkan kaki di sana, kita akan disambut oleh petugas sekuriti yang akan memeriksa barang bawaan kita. Bisa dikatakan, pengamanannya cukup ketat. Kebetulan, ketika penulis bertandang (Desember 2010) ke sana, sedang ada event seni. Penulis pun disuguhi pameran outdoor yang bertemakan kota Jakarta di pelatarannya.
            Puas menikmati pameran, kita bisa langsung memasuki perpustakaannya, yang terletak di dalam gedung Erasmus Huis. Suasana hangat menyapa kita, begitu memasuki ruang yang dipenuhi rak-rak buku kayu yang tinggi menjulang. Nuansa klasik begitu terasa pada interiornya, mungkin karena lantainya yang menggunakan parket, dan kentalnya pengaruh warna coklat kayu yang tersebar di seluruh ruangan. Koleksi buku kebanyakan berbahasa Belanda. Eits, jangan khawatir, karena ada satu rak khusus yang isinya buku berbahasa Indonesia. Di rak khusus tersebut, dapat kita temukan buku-buku tentang beberapa daerah (kabupaten)  di Indonesia, terutama di Banten (mengingat Banten adalah tempat pertama kali Belanda mendarat di Indonesia). Penulis buku-buku berbahasa Indonesia tersebut, kebanyakan orang Belanda. Selain itu, terdapat pula beberapa biografi tokoh-tokoh nasional Indonesia (Salah satunya, biografi Sutan Syahrir. Informasi mengenai beliau masih sangat jarang. Beruntung, penulis bisa menemukannya di sini.).
            Bagi anda yang sedang belajar bahasa Belanda, mungkin perpustakaan Erasmus Huis sangat cocok untuk mengasah kemampuan berbahasa Belanda anda. Buku berbahasa Belanda melimpah ruah, dari yang bergenre non-fiksi, hingga yang fiksi seperti novel, bacaan anak, dan lain-lain. Koleksi DVD berbahasa Belanda pun dapat kita jumpai. Suasananya yang terasa sangat Eropa, membuat kita betah berlama-lama di sini. Beberapa orang bertampang bule sesekali masuk ruangan, sekedar untuk membaca sejenak. Penjaga perpustakaannya yang seorang ibu paruh baya, akan dengan senang hati melayani jasa pembuatan kartu peminjaman buku. Terdengar, sedikit logat bulenya ketika beliau berbicara. Benar-benar terasa seperti di Eropa (Walaupun sebenarnya, penulis belum pernah mengunjungi Eropa. Hehehe…).
            Di luar ruang perpustakaan, terdapat ruang tengah yang cukup lebar. Pada waktu penulis berkunjung, ruang tersebut sedang digunakan untuk pameran lukisan seorang pelukis Belanda, Neel Korteweg. Lukisan-lukisan yang bercerita tentang pendeta Erasmus yang berkelana ke pulau Jawa itu, memenuhi seisi ruang tengah. Lukisan-lukisan tersebut sungguh serasi dengan ruang tengah yang bercat putih. Kita seolah sedang berada di galeri seni ternama di Eropa.
            Selain dapat mengenal banyak hal tentang Belanda lewat koleksi buku-buku di perpustakaannya, dan lukisan karya seniman Belanda, kita juga dapat menyaksikan film-film karya sineas Belanda yang biasa diputar di lobi Erasmus Huis. Di lobi yang terdiri dari sebuah LCD dan beberapa sofa dan tempat duduk ini, kita dapat menyaksikan film-film berbahasa Belanda yang bertemakan humanis, lagi gratis. Pemutaran film yang bertajuk “Europe on Screen” ini, hanya diadakan setahun sekali (Asyik, penulis mendapat kesempatan untuk menikmatinya.).
            Tepat di dekat lobi Erasmus Huis, terdapat sebuah tangga yang di dindingnya tertempel poster-poster konser musisi Belanda yang pernah diadakan di Erasmus Huis. Tangga tersebut membawa kita ke lantai dua, yang terdiri dari beberapa ruang pertunjukan. Di antara ruang-ruang tersebut, terdapat satu ruangan yang terbuka dan digunakan untuk pameran lukisan (Pada waktu penulis berkunjung, ruang tersebut sedang digunakan untuk pameran lukisan karya mahasiswa IKJ.).
            Bukan hanya suasana indoornya saja yang dapat memanjakan mata kita, suasana outdoornya pun tidak kalah memukau. Di pelataran gedung Erasmus Huis, selain terdapat tempat khusus untuk belajar bahasa Belanda dan restoran yang kedua-duanya terpisah dari gedung utama, terdapat pula taman yang cukup luas. Dari taman tersebut, kita bisa melihat gedung Kedutaan Belanda yang megah. Sebuah kolam yang menenangkan, beberapa bangku semen yang sederhana, dan pohon-pohon yang rindang, sungguh tempat yang asri untuk bersantai sambil membaca buku.
           

Hmm… Bagaimana? Seru, kan, mengenal budaya Belanda di Erasmus Huis? Hehehe… Mengunjungi Erasmus Huis memang tidak dapat menghilangkan hasrat anda untuk mengunjungi negeri Belanda. Tapi, tidak ada salahnya, kan, jika anda mengenal lebih dulu budaya suatu negara, sebelum anda mengunjungi negara tersebut? Siapa tahu, itu justru memotivasi anda untuk sungguh-sungguh merealisasikan keinginan anda berkunjung ke Belanda. Dank je!