School of Life
“Kiri, Pak!” sahutku pada babang angkot.
Babang angkot pun menuruniku persis di depan sebuah gedung yang bercat coklat.
“Ini, Pak, dua ribu rupiah.” kataku sembari memberi uang dua ribu rupiah pada
babang angkot tersebut. Langkah kakiku masih lunglai lantaran selama perjalanan
dua jam di bus tadi, aku hanya duduk tanpa bergerak sedikit pun. Itu karena
penumpang yang duduk di sebelahku tertidur dengan pulasnya dan mengambil lahan
tempat dudukku. Hampir saja ia bersandar di pundakku. Kaki yang pegal barusan,
seketika hilang ketika mataku memandangi sebuah gedung yang bercat coklat, yang
kini ada di depanku. Kampusku. Kampus yang tak pernah ada dibenakku untuk
kujadikan pilihan. Sama sekali aku tak menyangka ketika kuputuskan akan belajar
di sini. Entah angin apa yang membawaku kemari. Mungkinkah takdir? Fiuh, aku
menghibur diriku dengan berkata dalam hati, “Belajar
bisa dimana pun, Luh…”.
Hari ini ada kumpulan untuk
persiapan ospek minggu depan, tempatnya di lantai 5. Dengan wajah yang ku setting
agar terlihat tenang, aku menaiki lift menuju lantai 5. Hati ku sama sekali tak
tenang. Ini pertama kalinya aku masuk kuliah, teman baru, lingkungan baru, dan
tentunya dunia baru. Kuliah tentu akan beda dengan SMA. Disini, di tempat yang
akan menjadi tempatku untuk belajar hingga beberapa tahun ke depan, apa bisa
kutemukan sahabat-sahabat baru? “Hhhh…
cukup, Luh, jangan bikin panik diri sendiri!” kembali suara hatiku
menenangkanku.
Sampailah aku di lantai 5, dan
nampaknya itu ruangan tempat kumpulnya. Aku pun bergegas menuju ruangan yang
dijaga oleh dua orang di depan pintunya. Pasti seniorku, mukanya agak tidak
bersahabat. Sama persis dengan yang kutonton di film-film remaja, senior selalu
memasang tampang HORMATI-GUE. “Jurusan apa, De?” tanya salah satu dari mereka.
“Gizi, Kak.” jawabku berusaha membalas muka jutek mereka dengan keramahan.
Di dalam ruangan, aku hanya bisa
bersandar di dinding belakang. Semua orang kulihat sudah saling kenal
sepertinya. Mereka memang sudah kuliah semester pendek, karena masuk pada
gelombang awal. Sementara aku, baru masuk gelombang 4. Menyedihkan sekali,
belum ada teman, sementara yang lainnya asyik bercanda.
“Ayo,
Luh, kenalan, jangan diem aja.”. lagi-lagi hatiku yang bicara.
Mataku tertuju pada seorang gadis berkulit hitam manis, dengan rambut
panjangnya yang dibiarkan tergerai, dari penampilannya bisa dikategorikan
feminim. Aku memilihnya untuk berkenalan karena jka ditelaah dari jauh, agaknya
ia ramah. Aku pun memberanikan diri menghampirinya. “Hai, boleh kenalan?” tanya
ku. “Oh, iya, boleh. Aku Wita, kamu?” balasnya ramah. Hmmm… dugaanku benar.
“Aku Galuh, Galuh Prameswari, jurusan Gizi, kamu?” kataku disusul dengan pertanyaan.
“Oh, ya? Aku juga Gizi. Kamu baru daftar ya?’’ ujarnya sembari bertanya lagi. “Iya,
aku baru masuk gelombang 4, bareng yah? Boleh?” pintaku. Ia pun mengiyakan,
entah kebetulan atau tidak, aku sekelompok ospek dengannya.
***
“Dorr!”
tiba-tiba Wita mengagetkanku. Membuyarkan ingatanku saat pertama kalinya masuk
kampus ini. Wita yang pertama kalinya mengulurkan keramahannya waktu awal masuk
dulu, sudah beberapa bulan ini menjadi sahabatku di kampus ini. Oh, ya,
lagi-lagi kebetulan, kami berdua
sekelas. Kini kami tidak hanya berdua, tapi bersepuluh. Ada Nurul, yang
akrab kami panggil Nyu-nyun. Tidur adalah hobinya, gadis Bangka yang satu ini,
suka sekali menggambar. Tadinya ia ingin masuk DKV di salah satu institut
swasta di Bandung, namun gagal dan akhirnya takdir membawanya kemari. Berbeda
dengan Nyu-nyun, Rusi, gadis Batak berkulit putih dan sering kita panggil ratu
mall, dulu ingin sekali tembus FK UI, tapi, lagi-lagi takdir yang .berkata. Lalu
ada Adi yang kukenal pertama kali di kelas TOEFL dulu. Cerita ia pun tak jauh
berbeda dengan kita, sama-sama terpental dari pilihan masing-masing, lalu terdampar
di sini. Masih ada Meli, Resti, Fepy, Bonita, dan Anggi. Iseng, kami membuat
kumpulan yang kami namai Maju Mundur. Semboyan kami, Majuuu.
“Luh,
kantin yuuk, laper nih.” ajak Wita. “Yuuu, eh, iya, tugas Anatomi udah?’’
tanyaku. “Udah sih, tapi belum semua. Besok kerjain bareng, yuuk..” jawab Wita.
“Ok.” kita pun sepakat besok mengerjakan anatomi bersama, dan meninggalkan
perpus untuk menuju kantin.
Rupanya
kami telat, anak-anak yang lain sudah lebih dulu di sana. “Wey, telaaat.!” Resti
menyambut kami. “Pasti kalian dari perpus.” tebak Nyu-nyun. “Ko, tau sih?.” aku
malah balik bertanya. “Nyu-nyun gituloh!” Nyu-nyun bangga. “Kalian udah pada ngerjain
anatomi belum?” tiba-tiba Bonita bersuara. Kami semua menggeleng. “Belum semua,
sih.” jelas Wita, yang dikenal paling rajin diantara kami. “Itu kan banyak
banget, udah gitu susah lagi.” Hmm… Adalah Bonita selalu bikin kita was-was.
Cewek yang selalu tampil dengan rambut belah tengah dan kuncir poni ini, selalu
bikin panik kami, dengan dugaan-dugaannya yang tidak separah kenyataannya.
“Tapi tadi kata Acit, nggak ah, Bon. Dia kan udah kelar ngerjain.” Rusi mencoba
menenangkan kami. “Aduh, Bon, bikin gue was-was aja, nyaris bikin gue ga napsu
makan ni baso.” ujar Adi sembari menyeruput kuah baso. “Hahhhahaha…” tawa kami
semua. Seketika wajah Bonita menyerupai api yang membara. Hahahaha….
Sepulang
dari kampus, aku memilih untuk membersihkan kamarku. Kosanku berjarak tidak
jauh dari kampus, hanya 500 meter. Berada di sebuah kampung yang mayoritas
warganya asli Betawi, memberi warna tersendiri bagiku. Pagi-pagi ketika akan
berangkat ke kampus, aku selalu disambut oleh bau tidak sedap yang sumbernya
dari TPS (Tempat Pembuangan Sampah) yang berada persis di depan kosanku.
Kehidupan gang-gang sempit khas Jakarta, benar-benar kurasakan sendiri.
Sebelumnya, aku hanya bisa melihat pemukiman padat khas Jakarta hanya dari
layar TV. Semuanya menjadi khasanah tersendiri di mataku, Tapi, ada satu hal
yang paling aku sebal, entah karena disebelah kosanku adalah KUA, yang kulihat
sering sekali orang mengadakan hajat. Hampir di setiap malam minggu. Sialnya
terasa ketika aku akan ujian. Organ tunggal, orang yang berdangdut ria, kadang
mengganggu konsentrasi belajarku. Walau begitu, kadang aku menikmatinya juga.
Pernah suatu ketika, aku sedang enak-enaknya makan siang, tiba-tiba dikejutkan
oleh suara dentuman yang nyaris menyerupai suara bom dan meruntuhkan
pasir-pasir tembok kamarku yang memang sudah agak rapuh. Kukira itu petasan
khas hajatan orang Betawi, ternyata sekumpulan anak kecil yang tengah bermain
petasan. Hhahahaha… Ada-ada saja.
Sekilas
kehidupanku tenang-tenang saja, aku terlihat menikmati segalanya, tapi… hatiku
bergejolak, dalam tiap renunganku aku selalu bertanya, kenapa aku harus
terdampar di sebuah kampus swasta yang namanya bahkan belum dikenal orang.
Bagaimana jika aku bekerja nanti? Tentu akan diutamakan mereka yang lulus dari
universitas ternama. Aku gamang.
Malam
harinya, ketika aku sudah selesai shalat Isya, aku membaca majalah travel bekas
yang kubeli saat iseng-iseng jalan kaki. Sudah menjadi kebiasaanku bertualang
dengan berjalan kaki. Tugas Biologi dan Gizi Kuliner sengaja aku skip besok
pagi saja. Braak… Tiba-tiba pintu kamarku terbuka, sepertinya ada yang sengaja
mendobraknya. Kuperhatikan, tak ada seorang pun yang tampak. Tapi kemudian,
“Door! Godain Galuh, ah. Lagi ngapain, Luh?” sapa Kak Dwi mengagetkan. “Lagi
baca-baca iseng aja.” jelasku santai. Kak Dwi, teman satu kosku. Di kosan ini
ada tujuh orang. Aku, Nindi, Kak Dwi, Kak Uci, Kak Gita, Kak Sofi dan Kak Sri.
Kami semua perantauan, apalagi Kak Sri dan Kak Sofi yang jauh datang dari
Papua. Fiuhh… aku menghela nafas lega. Ternyata Kak Dwi. “Luh, lo mau ke
Italia, ya?” tiba-tiba Kak Dwi bertanya itu, mungkin ia melihat peta Italia
yang sengaja aku sobek dari Atlas punya adikku, dan kutempel di dinding. “Ya,
gitu deh, ko tau, Kak?” tanyaku heran. “Yaiyalah, tuh, kenapa ada gambar Italia
disitu?” balasnya. ‘’Apaan nih? Luh, lo demen jalan-jalan, yah?” tanya Kak Dwi
lagi. Rupanya ia memperhatikan buku travel bekas yang sedang ku baca. “Yup!”
jawabku yakin. Sepertinya Kak Dwi sedang menganalisis benda-benda yang ada
dikamarku, dan kali ini, brosur UI yang kutempel di lemari menjadi target
pertanyaan selanjutnya. “Lo mau banget di UI, ya, Luh?” tanyanya lagi. Belum
sempat aku menjawab, tiba-tiba Nindi yang kami juluki orang kaya lantaran demen
jajan plus belanja, ikut nimbrung. “Heyy, gosiiip muluu!” ujarnya dengan mimik
ala Feny Rose. “Kenapa? Mau ikutan?” jawab Kak Dwi. Kami bertiga memang sering
ngobrol, dari tentang anak Autis hingga masalah percintaan. “Luh, tadi lo belum
jawab pertanyaan gue.” Kak Dwi mengingatkan. “Ga tau kenapa, aku masih pingin
wujudin keinginan aku kuliah di sana. Rencananya, aku pingin nyoba tes lagi
tahun ini.” jelasku.
“Gue
juga dulu pingin di UI, tapi.. yaudahlah, emang di sini yang terbaik buat gue.
Gue bersyukur, Fisioterapi yang paling bagus kan, di sini, di kampus kita.”
Nindi bersuara. “Emang apaan yang bikin lo pingin ke UI? Belajar, dimana-mana
sama, Luh.” sambung Nindi lagi. “Gue ga maksud bandingin kampus kita sama UI,
Ndi. Gue cuma pingin buktiin ke diri gue, gue bisa masuk universitas yang
ternama. Suatu saat gue kerja, gue ga takut bersaing dengan yang lain.’’
jawabku gamang. “Yaelah, ga usah khawatir kali. Kampus kita kan cukup tenar
juga.” Nindi berusaha menghibur diri. “Galuh bener, Ndi. Gue udah capek kali,
tiap ditanya orang, kuliah dimana, gue jawab kampus kita, eh, ga ada yang tau.
Cuma dikit yang tau.” Cerita Kak Dwi. “Berarti lo punya niatan pindah, Luh?” Kak
Dwi mengintrogasiku lagi. “Baru rencana sih.” jawabku pelan. “Orang tua lo,
setuju?” ujar Kak Dwi dengan muka penasaran. “Agak kurang setuju, sih. Hhh…”
jawabku gamang. “Gue saranin sih, mending jangan, takut tua diumur, Luh. Sayang
kali, ketinggalan setahun.” saran Nindi. “Orang tuh beda-beda, Ndi.” terang Kak
Dwi. “Sebenernya takut juga kalau nyoba tes lagi. Tapi, kalau ga dicoba, mana
tau kita bisa apa engga, kan?” jelasku. “Kemaren lo belum nyoba UI?” tanya
Nindi. “Belum, Ndi, seleksi PTN kemaren, gue gagal dan belum sempet nyoba UI.
Walaupun kalau gue nyoba, belum tentu dapet, gue masih pingin nyoba.” jelasku.
“Kalau lo ntar pingin nyoba lagi, gimana pun hasilnya, lo jangan pernah
sesalin, Luh.” nasihat Kak Dwi.
“Gue
yakin, Luh, orang yang gigih kaya lo, bisa wujudin impian.” Kak Dwi memberiku
semangat. Aku seperti mendapat dorongan semangat dari kata-kata Kak Dwi
barusan. “Gue juga sempet ngalamin apa yang lo rasain sekarang, Luh, tapi
sekarang gue udah lewatin masa-masa itu. Tuhan itu adil, kenapa gue ditempatin
di sini. Dulu gue orangnya pendiam banget dan saking diemnya, orang segan
deketin gue, tapi, semenjak gue kuliah di sini, gue ketemu temen-temen yang
rame, dan… lo liat kan sekarang? Setiap pilihan itu ada enak dan gak enaknya,
Luh. Bersyukur adalah jalan satu-satunya supaya kita bisa lewatin semuanya,
semangat, Luh!” Kak Dwi kembali mengeluarkan senjata andalannya, suntikan
semangat. “Yups, tengkyu, Kak.” jawabku, kali ini dengan penuh semangat. “Beli
makan, yuu… “ seketika Nindi mengajak kami pergi keluar membeli makan. “Yuuu…”
aku dan Kak Dwi kompak. “Aku mau Ayam Bakar, ah.” ujar Nindi. “Wuuu… orang
kayaaa.” kita berdua berseru. Obrolan kami tutup, dan kemudian kami pergi
membeli makan.
Esok
paginya, aku bangun pagi dengan semangat. Bau sampah yang menyengat, begitu aku
membuka pintu kosan, tak kuhiraukan. Langkah kaki terasa ringan, efek dari
kata-kata nasihat Kak Dwi semalam. Ini mungkin yang disebut kata-kata motivasi.
Benar-benar menginspirasi. Jam di handphoneku masih menunjuk pukul 07.30. Aku
memutuskan nangkring di perpus dahulu, sebelum kuliah pukul 09.30 dimulai. Aku
tahu perpus pagi-pagi begini belum dibuka, pasti sedang dibersihkan, tapi
sengaja aku datang awal dan memilih duduk di bangku depan perpus. Tujuanku
adalah membooking komputer nomor dua, yang selalu kupakai untuk internetan dan
mengetik tugas. Maklum, aku belum memiliki laptop. Untungnya, di perpusku ini,
tersedia tiga unit komputer. Walaupun yang ada Ms. Word dan bisa akses internet
hanya yang nomor dua. Itu sebabnya aku selalu membooking yang nomor dua. ‘’Pak,
boleh, naruh tas di dalem? Cuma naruh tas aja kok, Pak.” tanyaku pada Bapak
penjaga perpus. “Boleh.” jawabnya ramah. Sepertinya ia telah hapal dengan
kebiasaanku membooking komputer nomor dua. Selepas menaruh tas di dalam perpus,
aku kembali duduk di bangku depan perpus. Duduk sambil melihat ke arah dalam
ruangan yang sedang dibersihkan dan berisi buku-buku. “Kamu harus bersyukur kulish disini, Luh… “ kataku dalam hati.
Saat di kelas Ilmu
Bahan Makanan, “Hari ini lo semangat banget, Luh. Kayanya sumringah beneeerr..”
sapa Adi. Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Jika kemarin-kemarin aku
selalu menyanggah perkataan Pak Martin, lantaran nada bicaranya yang sombong,
kini materi dari Beliau kutelan dengan nikmat. Tak kupedulikan lagi nada
bicaranya yang congkak. “Harus tahan,
Luh. Dia bukan sombong, hanya kelewat pintar. Profesor gitu loh.. Kapan lagi
diajar sama professor…”
Karena hari ini hanya
satu matakuliah, pukul 11.30, aku sudah pulang. Janji mengerjakan tugas bersama,
kami pending esok hari, lantaran Wita ada urusan dadakan yang amat penting.
Acara jalan-jalan keluarganya. Lagipula anak-anak Maju Mundur lainnya, memilih
pergi nonton bioskop. Aku yang terdesak dengan kantong yang menipis, menolak
ajakan Maju Mundur untuk nonton bioskop. Harap maklum, tanggal tua. Mereka pun,
mengerti keadaanku.
Hal yang patut
kusyukuri lagi, selama di sini adalah mendapat sahabat-sahabat yang baik dan
menerima apa adanya aku. Aku yang notabene datang dari kota kecil dan tidak
berpenampilan selayaknya muda-mudi ibu kota kebanyakan. Pernah suatu ketika,
Aku, Nyu-nyun, dan Wita pergi hang out
ke salah satu mall yang letaknya tidak jauh dari kampus kami, kami memutuskan
makan di salah satu restoran Jepang cepat saji. Wita dan Nyu-nyun memesan Chicken
Katsu, sementara aku dengan polosnya mengeluarkan kotak makanku yang berisi
nasi, telur dadar dan sambal ijo yang kubeli di warung Padang. Tidak terlihat
rasa malu di wajah mereka saat melihat aksiku, entah dalam hati mereka seperti
apa. Walaupun aku tahu beberapa pelayan melihat aneh ke arahku.
Kembali ke siang, pukul
11.30 tadi, sesampainya aku di kosan, perutku begitu keroncongan, sialnya, aku
tidak sempat membeli nasi untuk makan siang. Apa daya, aku bergegas mengambil
mie instan dan memilih untuk merebusnya di bawah. Di kosanku ada dapur, tapi
menyatu dengan rumah ibu kos ku, yang terletak di lantai bawah. “Eh, ada Galuh,
masak mie ni yee..” sapa ibu kos ku hangat, begitu aku sampai dapur. “Iya nih,
bu. Hehehe.” jawabku. “Nanti kalau mau nasi, ambil aja. Ga usah malu-malu.”
tawar Ibu. “Makasih, Bu. Jadi ngerepotin. Hehehe…” ujarku malu-malu. “Ga papa,
Galuh ini, suka malu-malu.” kata Ibu lagi. Setelah selesai memasak mie, aku pun
kembali naik tangga menuju kamarku dan siap menyantap mie instan yang
dilengkapi nasi pemberian Ibu. Hmm… nikmatnya. Ibu kos ku perhatian sekali,
selalu menawariku nasi jika aku sedang memasak mie di dapur. Pernah, di suatu
sore, kami yang tengah nonton TV di atas, terbatuk-batuk karena mencium wangi
tumisan. Ibu sedang memasak Tumis Tahu rupanya. Agaknya Ibu mendengar kami,
anak kosnya terbatuk-batuk di lantai atas. “Siapa itu yang batuk-batuk?” tanya
Ibu. Kami semua terkekeh sambil menuding satu sama lain. “Galuh, Bu. Pingin
katanya.” ujar Kak Dwi bercanda. “Bukan, Bu. Nindi.” kataku menuding Nindi.
Hihiihi… “Boong, Bu, Galuh ni, Bu.” gantian Kak Sofi yang menudingku. Tak
berapa lama, Ibu naik ke atas, dan memberi kami semangkuk Tumis Tahu. Kami
mencicipinya bersama-sama. Hmm… Lezatnya sampai ke ubun-ubun. Tahu, apa yang
membuat Tumis Tahu ini enak? Yup! Suasananya. Kebersamaan yang sangat akrab
yang mengobati rasa rindu kami akan keluarga masing-masing.
“It’s in my life, my heart, my soul
my sense of love…
There, I will try to find, a peace of
mind..
And in my life, my heart, my soul,
My sense of love…
The living pearls of life for me to
find..
In my mind, so my heart won’t go
blind…
In my life…”
Sherina-
My life
***
Tes.. Air mataku
tiba-tiba menetes, jatuh di atas scrapbook
yang berisi foto-foto dan opini mereka tentangku. Kado dari Maju Mundur. Aku
tak kuasa membuka halamannya lagi. Berbagai kenangan terangkum di situ.
Foto-foto ketika kami menginap di rumah Wita karena kemalaman, selepas dari
menengok Meli yang sedang sakit kala itu. Foto-foto ketika di salah satu kedai
es krim tua, sehabis membeli buku di Senen, dan sempat beradu mulut untuk
menawar buku Gizi dengan seorang penjual buku yang laganya seperti preman.
Belum lagi foto-foto kami yang dengan noraknya berpose di lobi lantai dua.
Kampus serasa milik kami ketika itu.
Kini aku tidak lagi di
sana. Kebaikan Ibu kosku, kehangatan teman-teman satu kos ku, obrolanku tentang
impian dengan Kak Dwi yang kini sudah menjadi sarjana Psikologi dan Nindi di
malam itu, benar-benar kenangan yang menempel dan mengena di hati hingga saat
ini. Belum lagi suasana kos ku dulu yang unik. Kini aku berkuliah di salah satu
perguruan tinggi negeri di Bandung Utara, dan tak pernah kulupakan semua kenangan
manis itu. Ya, selepas kulewati satu semester di kampusku dulu, dengan berbagai
pertimbangan, akhirnya aku memutuskan untuk mengikuti seleksi nasional PTN
untuk kedua kalinya. Seperti nasihat Kak Dwi dulu, “Apapun hasilnya, jangan
pernah lo sesalin, Luh.”. Aku akhirnya lulus ujian saringan nasional tersebut,
walau bukan di UI, tapi aku bersyukur. Impian ku untuk masuk PTN terwujud.
Pernah berkuliah di
kampus lamaku dulu, adalah episode terindah dalam hidupku. Merasakan indahnya
kehangatan keluarga kedua dan
sahabat-sahabat yang pengertian. Aku belajar banyak tentang hidup dari
kampus dan lingkungan kos ku dulu. Dari
kampus swasta di bilangan Jakarta Barat yang namanya tak begitu dikenal itulah
aku banyak belajar. Tentang hidup, bahwa hidup harus slalu bersyukur, walau
berada di tempat yang tak pernah diingini sekalipun. Kampus dan kosan yang
sudah seperti sekolah kehidupan bagiku. Kuberi nama School of life.
*waktu nulis ini, saya ketawa, menangis, dan terharu sendirian. Truly memorable, guys...