Ups,
Jimbe, I’m in Love!
“Dua
minggu lagi kita ujian aransemen, buat nilai UTS ! So, persiapkan diri kalian.
Oh, ya, saya minta minggu depan kalian udah punya konsep masing-masing, okey?”
tegas Bu Ires. Seketika kelas kami riuh. “Oh, ya, bagi kelompok sekarang juga,
lima atau enam orang cukup. Okey? Selamat siang dan sampai jumpa minggu depan!”
ujar Bu Ires mengakhiri pelajaran sembari memasang ekspresi
SELAMAT-MENGERJAKAN-ARANSEMEN-ANAK-ANAKKU-SAYANG! Seketika kelas kami riuh.
Rai, selaku ketua kelas kami, angkat bicara, “Wey, Attention please! Guys,
mulai bagi kelompok ya… Yo, berhitung dari depan, 1 sampe 6 yah… Mulai !”.
Giliranku, “Tiga!” teriakku lantang. Selepas seisi kelas berhitung, giliran
Asti menulis nama-nama anggota kelompok di papan tulis. Aku yang tak begitu
antusias dengan pelajaran seni musik, memilih mengisi LKS Biologi saja. Sampai
terdengar suara Asti menyebut teman-teman sekelompokku, “Kelompok tiga , Ari,
Joni, Dwi, Saski, Adi, dan Raden. Ok, lanjut kelompok empaaat..”. “WHAT? Gue sekelompok sama Ari? Ari Nugraha
yang menurut trade record temen-temen, orangnya perfeksionis abis. Arrghh….
Tamat gue! Mana gue ga jago main musik lagi. Arrghhhh…” gerutu ku dalam
hati. Seketika LKS Biologi ku coret-coret.
Teet-teet-teet,
bel istirahat berbunyi. “Arrrgghh… bête, bête, bête, bêteeeee!” teriakku pada
Dira yang sedang asyik baca Conan di Basecamp kita yang terletak di tangga
menuju Laboratorium. “Kenape lo? Autis!”
tanya Dira heran. “Gue sekelompok aransemen sama Si Mr. Per-fek, ARI NUGRAHA!
Itu artinya, gue kudu siap dibentak-bentak, diatur-atur, pokoknya, Arghhhhh….!”
jelasku panjang lebar dan penuh emosi. “Yaelah, nikmatin aje kali.” ujar Dira
santai. “Weey, udah pada nongkrong aje ni ibu-ibu PKK.” tiba-tiba Thea yang
baru kelar pelajaran Geografi ikut nimbrung. “Muke lo nape, Sas?” tanya Thea,
yang heran dengan ekspresi bête ku. “Gue sekelompok aransemen sama Si Mr.
PER-FEK ARI-NUGRAHA!” ke-bete-an ku memuncak. “Lebay lo! Yaudah kali, lo terima
aje. Gue juga sekelempok sama orang yang paling gue sebel di kelas, tapi gue
fine-fine aje tuh. Yaudah nikmatin aje kali, Sas.” saran Thea. “Hhhh… iya iya,
ok, perut gue ude laperrr niy, kantin yuu..” pintaku pada Dira dan Thea. “Kalian
ga mau nunggu Rahma sama Nunik?” tiba-tiba Dira ngingetin kita, masih ada dua
anggota kita, yang belum kelar pelajaran. “Oh, iya!” ujar Thea dan aku.
Keesokan
harinya, pagi yang cerah ceria tiba-tiba berubah menjadi abu-abu. “Sas, sini!
Kita lagi ngomongin konsep buat aransemen nanti.” Ari menyapa aku yang baru
saja beberapa langkah sampai di kelas. Dengan muka yang ku setting seolah
bahagia disambut oleh sapaan ketusnya, aku melangkah menuju gerombolan
kelompokku. ”Semalem gue udah kelar bikin konsepnya. Nanti kita bakal nampilin
lagu Disco Lazy Time-nya Nidji yang bakal diiringin sama jimbe dan…. Yaa,
sentuhan Afrika gitu deh.” jelasnya panjang lebar and of course dengan nada
bicaranya yang congkak. Seketika aku senyum-senyum sendiri membayangkan Ari
memakai kostum ala suku-suku Afrika dan bicara dalam bahasa Tarzan. “Kenapa lo,
Sas? Ketawa-ketawa sendiri. Pikirin dong konsep kita gimana, ini bukan main-main
kali, nilai UTS kita diambil dari sini!” tegur Mr. Perfek yang menangkap
ekspresi mesem-mesemku. “Always nilai! Ga
bisa apa… sekalii aja, ga mikirin nilai?” gerutuku dalam hati. Yeah, bukan
rahasia umum lagi, kalau Ari hobi banget mentingin nilai. Pernah satu kali dia
nonjok tembok, cuma gara-gara nilai Matematikanya 97! What? 97 tuh udah bagus
banget kali! Aku aja yang dapet 81, jingkrak-jingkrak kegirangan! Sekolah tuh
bukan cuma nilai, nilai, dan nilai aja! “Kenapa gue ga dapet 100?!” gerutu Ari
sambil menonjok tembok kala itu. I don’t think he have a girl friend. Knock
knock on the wood deh, jangan sampe aku
punya cowok yang ambisius kaya dia.
Siang
ini aku absen ke kantin bareng sohib-sohibku. Ya, apalagi kalau bukan kerja
kelompok aransemen. “Karena kita butuh jimbe, Sas, lo ambil jimbe di Mushola
ya. Pinjem punya anak-anak Nasyid. Ga pake lama, ya!” dengan enaknya Mr. Perfek
menyuruhku mengambil jimbe. “Ambil jimbe?
Gue? Becanda lo, Ri! Gue kan cewek! Kan ada Joni sama Adi. Masa gue yang ambil?
Arghhhhh!” emosiku dalam hati. “Joni sama Ari lagi pinjem gitar.” terang
Ari, seolah membaca pikiranku. Hufh… Aku menghela nafas sabar dan tanpa
perlawanan aku mengikuti arahannya. Entah aku habis menelan pil apa, aku jadi
sabar begini. Mungkin efek nemenin Bunda nonton ceramahnya Mamah Dedeh tadi
pagi. “Jadi orang harus sabar.” nasihat Mamah Dedeh. Ok, back to the real
situation, tidak terbayang mengangkat jimbe dari Mushola sampai kelas. Naik
tangga lagi! Hhhhh…. Tubuhku lunglai. “Oh, ya, Sas, sekalian sama rebana juga
ya!” Ari menyahutiku dari jauh. Hhhhh…. Arggghhhhhh…. Aku autis sendiri sambil
jalan menuju Mushola. Terdengar suara cekikikan dari kelas 11 IPA 2 yang
kulewati, pasti mereka menertawaiku. Mungkin aku bakal di cap sebagai kakak
kelas yang paling aneh. Ahhh, peduli amat. Membawa jimbe yang ditambah rebana
di atasnya lebih-lebih beratnya dari mengangkat galon air yang biasa aku
lakukan di rumah. Haaaaaa… berat sekaliiii… rasanya pinggang ini encok!
“Dwi,
Joni, sama Raden, nyanyi. Gue gitar, Adi pegang jimbe, dan lo, Sas, main
rebana.” atur Ari. “Ini teksnya, kalian yang nyanyi hapalin di rumah, Di, lo
ikutin musiknya, pokoknya yang pegang jimbe sama rebana, tugas kalian sebagai
pengiring. Ketukannya ikutin gue.” jelas Ari. “Pegang rebana? Hhhh… kenapa ga lagu religi aja sekalian?” omongku
dalam hati. Teet-teet, bel berbunyi
dua kali, tanda jam istirahat habis. “Ok, ntar abis balik skul, kita lanjut.
Alat-alat taruh di belakang kelas aja.” suruh Ari. Kami yang sejak tadi latihan
di depan Lab, bergegas kembali ke kelas. Untungnya, sekarang Adi yang bawain
jimbe. Aku kebagian membawa rebana saja. Yes!
Sepulang
sekolah aku melangkah menuju kelas IPS 3, aku bermaksud memberitahu Rahma kalau
hari ini aku ga bisa balik bareng. “Ma, gue ada latian aransemen, kalian balik
duluan aja.” kataku. “Oh, ok, balik sendiri berani, kan?” tanya Rahma.
“Berani,lah,emmm… btw, doain gue ya, biar gue bisa tahan sekelompok sama Si Mr.
Perfek.’’ ujarku pada Rahma. “Mmm, ntar juga lo tahan. Awas, ati-ati lo, jangan
kelewat sebel ma seseorang, bisa-bisa jatuh cintrong lagi!” canda Rahma. “Hah?
Jatuh cintrong? Sama dia? Knock knock on the wood deh gue! Orang nyebelin kaya
dia, pantesnya dibuang ke Segitiga Bermuda!” ucapku sebal. “Emm, sebel itu artinya seneng betul, loh!”
goda Rahma. “Udah-udah, cukup, gue balik ke kelas dulu, ya, sebelum gue
dimarahin sama Si Bos Ari.” ujarku sembari ancang-ancang balik ke kelas. “Mmm,
sekarang diganti ya, namanya. Tadi Mr. Perfek, sekarang Si Bos, besok?” kata
Rahma lagi. Aku buru-buru tutup kuping. “Awas, Sas, ntar jatuh cintrong!”
terdengar suara Rahma berteriak. Aku yang tak menghiraukan teriakannya,
bergegas menuju kelas.
“Mulai
yah…” Ari mengomando kami. “Wake me up tonight...” yang kebagian vokal, mulai
menyanyi. Sementara aku dan Adi mengiringi gitar yang dimainkan Ari. Hmmm…
lumayan, dengan sendirinya aku mulai menikmati. Latihan pun usai, dan akan
disambung esok hari. Sebelum balik, “Sas,
anterin gue balikin jimbe sama rebana, dong! Gue yang bawa sampe depan Mushola,
tapi ntar lo yang gotong sampe dalem Musholanya.” Ari sempet-sempetnya
menyuruhku. Hhhh…
Besoknya,
sebelum bel masuk berbunyi, aku meluapkan kekesalanku pada Si Bos, panggilan
baru untuk Ari Si Mr. Perfek, pada sohib-sohibku. “Gila, ganas juga tuh cowok.
Masa lo disuruh gotong jimbe segala?” tanya Nunik heran. Aku mengangguk. “Sabar
ya, Sas. Kita turut prihatin. Hhahaha” canda Thea. “Puas ya, liat gue
menderita?” kataku ketus. “Tenang aja, Sas, Baim celalu doain, Saski, kok.
Amiin.” ledek Dira, meniru dialog sinetron yang diperankan Baim Cilik. Seketika
sohib-sohibku tertawa lepas. Aku pun tak kuasa menahan tawa. “Nah, gitu dong,
betenya di-skip dulu.” kata Thea. “Bentar lagi bel nih, itung, ya, 1, 2, 3.”
duga Rahma tiba-tiba. Dan, benar, teet-teet, bel masuk berbunyi. “Sampai jumpa
jam istirahat ya, kawan!” kata Thea, mengakhiri obrolan pagi kami.
Di
kelas, di sela jam pelajaran Bahasa Indonesia, “Sas, ntar balik skul, lo ambil
jimbe lagi ya, rebananya juga jangan lupa!” suruh Ari dengan ketusnya. “Kenapa
ga Joni atau Adi gitu! Gue kan…” aku tak meneruskan perkataanku. “Yaudah lo
suruh Joni aja.” ujar Ari dengan tenangnya. Arghhhh… Dan selepas pelajaran Bahasa Indonesia habis,
aku bergerak menuju mejanya Joni, “Jon, siang ini lo yang ambil jimbe di
Mushola, ya.” pintaku pada Joni. “Sorry, Sas, gue lagi asik main rubik nih.”
ujar Joni dengan entengnya. “Okey, sabar,
Sas, sabaaaarrr…” aku menenangkan diri dalam hati.
Sepulang
sekolah, dengan amat sangat terpaksa, aku mengambil jimbe di Mushola. Ya
ampuun, seperti yang sudah-sudah, beraaatt sekali. Sesampainya aku di kelas,
tubuhku benar-benar lunglai. “Ok, mulai latian!” kembali Ari mengomando kami. “This
is disco lazy time.. I want you, I need you…” Dwi, Raden, dan Joni bernyanyi
dengan merdunya. “Sas, lo ntar bagian pembuka ya, tanda kita mulai, pokoknya 3
atau 4 pukulan. Ok?” Ari menginstruksiku. “Ok.” jawabku.
Latihan
selesai, dan seperti biasa, setiap selesai latihan, Ari menghampiriku, “Sas, lo
anterin gue balikin jimbe ya. tugas lo cuma anterin aja, trus….”, “Sampe Mushola,
gue yang gotong.” belum sempat Ari bicara, sudah kupotong. Sepanjang perjalanan
menuju Mushola, kami berdua hening. Karena kami latihan sampai sore,
sohib-sohibku sudah pada pulang, dan aku was-was, angkot jam segini sepertinya
sudah tidak ada. Fiuh…. Aku pulang lewat gerbang belakang, dekat kantin dan
parkiran motor. Sekolah agak sepi, hanya terdengar suara senior paskibra yang
sedang memarahi adik-adik yuniornya saja. Saat itu, tiba-tiba terdengar suara,
“Sas, mau bareng ga?” panggil Ari. Aku menoleh dan mencari sumber suara. Hah? Ari? Dia ngajak balik bareng?
Tumben, dia baik. Belum sempat aku menjawab, Ari kembali berkata, “Udah deh,
bareng aja. Lagian jam segini udah ga ada angkot kali! Ga usah gengsi sama
gue!”. Aku menghela nafas. Nada sombongnya itu… Bahkan, disaat memberi
pertolongan pun, dia bicara dengan nada yang congkak. Karena tidak ada pilihan
lain, aku akhirnya pulang dengan… Si Bos!
“Thanks
ya, Ri.” Ucapku sesampainya aku di depan rumah. “Welcome.” Ari membalas dengan
senyuman. Wow, seorang Ari Nugraha yang
terkenal angkuh, ambisius dan perfeksionis itu tersenyum padaku! Ya ampun,
senyumnya manis juga. Sampai di pintu rumah, Bunda terheran-heran melihatku
yang pulang dengan ekspresi sumringah. Ini
aneh, ada apa ini? Kenapa aku girang banget, ya?
Besok
paginya, “What? Dia nganter lo balik?” tanya Thea. “Yup!” jawabku dengan
sumringah. “Wah, bakal dapet PJ, nih kita!” Rahma berseru. “Apaan, dia baru
nganterin gue balik sekali doang, kok!” kataku. “Senyumnya itu, loh, maniisss
banget. Gue baru tau orang yang angkuh kaya dia, kalo lagi senyum, manisnya ga
ketulungan.” lanjutku. “Awas, Sas, ntar lo diabetes lagi, gara-gara kemanisan.”
canda Dira yang seperti biasanya, always make us laugh! Hahhahaha… “Tuh, kan
bener dugaan gue, gue bilang juga apa, jangan kelewat sebel sama seseorang,
terbukti kan, lo jadi demen!” terang Rahma. “Yee, gue kan ga bilang gue demen.”
Aku mengelak. “Tapi dari ekspresi lo, keliatan banget lo seneng dianter sama
dia, lo juga seneng kan, liat dia senyum.” jelas Nunik.
Teet-teet,
bel masuk berbunyi. “Ok, sampai ketemu jam istirahat, Guys!” kali ini giliran
Nunik yang menutup acara obrol-obrol seru kami.
***
***
Tak terasa, dua minggu sudah terlewati,
latihan demi latihan sudah kelompok kami lalui. Persiapan sudah matang.
Meminjam dan mengembalikan jimbe ke Mushola pun sudah menjadi rutinitasku. Tapi
aku tidak lagi menggerutu. Kan, Ari selalu nemenin. Hehehe… Ga ada lagi
kecanggungan diantara kami berdua. Tiap jalan berdua menuju Mushola, kami tidak
lagi hening. Dari obrolan-obrolan kami, terungkap kalau ternyata, seorang Ari
Nugaraha yang angkuh, perfeksionis, dan ambisius, suka menonton Pororo. Hihihi…
Ga nyangka deh… Dia juga suka nonton Opera Van Java, dan… Wow, ternyata dia
punya sisi humoris juga, dibalik keseriusannya. Oh, ya, kita juga jadi sering
pulang bareng. Hhehehe…
Tiba waktunya di hari kami tampil.
Anak-anak sekelas terlihat antusias berlatih. Wow, masing-masing kelompok sudah
mempersiapkan konsep yang unik-unik. Kini, giliran kelompok kami. Rebana yang
kupukul tiga kali, menjadi pertanda musik dimulai. “This is disco lazy time… I
want you, I need you…” terdengar suara Raden, Dwi, dan Joni saat bagian
reff-nya. Wow, kami mendapat banyak applause, Bu Ires pun memamerkan senyumnya,
tanda ia menyukai penampilan kami. Senangnya… Dan, sesaat setelah kami selesai
main, Ari yang masih pegang gitar, tersenyum ke arahku. Aku terperanjat dan
membalas senyumnya. Ya ampuuun, senengnya
kuadrat deh!
Jam pelajaran musik pun, usai. Bel
istirahat berbunyi. Teet-teet-teet. Aku bergegas menuju Basecamp, tak sabar
ingin segera bercerita dengan sohib-sohibku tersayang. Tapi, tiba-tiba Ari
memanggilku, “Sas, tunggu!”. Dia lalu menghampiriku dan berkata, “Thanks ya,
good job loh, tadi.”. “Welcome, lo juga good job. I mean, kita semua, kelompok
tiga. Hehehe…” balasku grogi. “Oh, ya, thanks juga ya, selama ini dah bantuin
gue ambil jimbe.” ucapnya malu-malu. “Ya, sama-sama. Nanti mau gue anterin
balikin jimbenya ga?” tawarku. “Engga,
ga usah, biar gue aja ntar sama Adi.” ujar Ari. “Yah, padahal kan gue pingin berduaan sama lo, Ri.” harapku dalam
hati. “Mmm… ntar siang, mau ga lo balik bareng gue lagi? Iya, gue tau kita udah
ga ada latian lagi, tapi boleh, kan, gue nganter lo balik siang ini?” ajak Ari.
“Emm… Boleh.” aku menjawab dengan pipi yang bersemu merah. “Yaudah, ya, gue ke
sana dulu.” aku mengakhiri percakapan sembari menengok ke arah Basecamp. Aku ga
sanggup lama-lama berhadapan sama Ari. Aduh, aku grogi banget! “Ok.” Jawab Ari
mempersilahkanku sambil memamerkan senyum manis andalannya yang sukses
membuatku terbang melayang.
Aku berjalan menuju Bascamp sambil
senyum-senyum sendiri, dalam hati aku girangnya luar biasa, Ya ampun, kayanya
aku jatuh cintrong deh. Gara-gara keseringan ambil jimbe bareng Ari, gara-gara
sering pulang bareng Ari, dan gara-gara disenyumin Ari terus. Hihihi… Dalam
perjalanan menuju Basecamp, aku melihat dua orang cowok IPA 4 bergotongan
mengangkut jimbe. Bikin aku tambah senyum-senyum sendiri. Ups, Jimbe, I’m in
Love!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar