Minggu, 04 Maret 2012

cerpen :)

Bingkai Dirimu di Senja Reykjavik
Drrrt…drrtt… Terdengar suara getar handphoneku. Dari Lexa rupanya. Lexa, roommate sekaligus sahabatku selama di kota terhijau di dunia ini. “Don’t forget to dinner tonight, keep our room clean. Hahaha…” . Sms dari Lexa barusan menandakan aku sendirian di weekend ini. Jika dihitung, ini sudah minggu ke- 8 aku sendirian, sejak kedatanganku di bandara Keflavik beberapa bulan lalu. Kuhabiskan weekend dengan videocall bersama sohib-sohib IPA 3 dulu, membaca buku, membabat habis koleksi DVD yang kubawa dari Jakarta, dan…. Melahap dengan nikmat Vinarterta buatan madam Heidi, tetangga sebelah flat kami. Kue tradisional Islandia tersebut, menjadi obat sepiku setiap weekend tiba.
Madam Heidi Giojonsdottir, seorang pensiunan pegawai negeri sipil yang kini memilih berbisnis bakery, dengan membuka sebuah toko kue kecil di dekat kampusku, Reykjavik University. Madam Heidi dan suaminya sudah menikah selama 35 tahun dan tak memiliki keturunan. Belakangan aku tahu kalau mereka sebenarnya bersahabat sejak SMA dan terpisah beberapa tahun. Tuhan menakdirkan mereka berjodoh, “Awalnya aku tidak yakin, karena dia pernah berpacaran dengan teman sebangku ku, but, finally, pepatah ‘kamu tidak akan pernah tahu sebelum kamu mencobanya’ cukup membuatku yakin. Cinta itu tentang keyakinan dan keberanian, keberanian untuk mengambil keputusan, Dear…” cerita Madam padaku. Yup! Aku banyak belajar dari Madam, dia sudah seperti ibu ketiga bagiku, selain Tante Galuh dan Bunda tentunya. Kisah madam Heidi dan suaminya, mengingatkanku pada cerita kita.
Jam tanganku nyaris menunjuk angka 5, gurat senja sudah kian terlihat. Maret ini, siang dan malam terbagi rata. Huft, hari ini tidak terlalu sibuk, tugas sudah kuselesaikan, yaa… walaupun aku sedikit tidak suka , ‘sedikit tidak suka’ dengan dosennya. Profesor itu, perfeksionis. Agaknya aku semakin tertular virus ‘anti perfeksionisme’ mu. Perutku yang keroncongan membawaku ke sebuah restoran oriental di seberang kampus, siang tadi. Sepiring sayuran tumis dan nasi, cukup meredakan rasa kangenku pada Capcay buatan Bunda. Kamu tahu apa yang aku lihat di restoran itu? Sekeping cerita cinta yang unik. Aku melihat seorang wanita bermata sipit dengan beraninya menulis puisi cinta dengan lipstik merah saga di selembar tisu kepada seorang pria Catalan. Wanita itu, sepertinya memiliki kriteria pria idaman yang eksentrik. Pria Catalan yang duduk tepat di seberang mejaku itu, harusnya seorang seniman. Rambutnya yang terlihat jarang dikeramasi, kemeja longgarnya yang dihias kalung etnik, Wow, sepertinya dugaanku benar. Aku tahu kamu pasti akan membenci kebiasaanku yang satu ini, kebiasaan yang kamu anggap buruk, yup, menjadi life observer. Asal kamu tahu, kebiasaanku ini dimulai waktu aku dengan isengnya memperhatikan penampilan Pak Kahfi. Kamu ingat kan? Waktu itu beliau masih berstatus guru bantu di sekolah kita. Pak Kahfi dengan bahasa Inggris berlogat Jawanya, sukses membuatku ketagihan memperhatikan setiap gerak-geriknya. Hahaha..Dari situlah kebiasaan yang kamu sebut buruk itu berubah menjadi hobi. Di restoran oriental siang tadi, sepertinya hobi lamaku kembali menggeliat. Kamu tahu apa yang terjadi selanjutnya, antara wanita bermata sipit dengan pria Catalan tadi? Sang Pria Catalan meresponnya! Dia merespon wanita oriental itu. Alangkah beruntungnya wanita bermata sipit itu. Ia terlihat berbunga-bunga ketika sang pria catalan tersenyum ke arahnya. Mudah memperhatikan ekspresi wanita itu, karena hanya berbeda beberapa meja denganku.
‘’Nona, anda terlihat sendirian, ini, barangkali sekotak coklat dapat memeriahkan hati anda.” tiba-tiba seorang pria gipsi menawarkanku sekotak coklat. Hmm… trik penjualan yang menarik dan cukup membuyarkan ingatanku padamu. “Tidak, terima kasih , Tuan.” tolakku halus. Penjual coklat itu lalu berlalu. Kembali kulihat langit, senja semakin mendekat. Begitupun dengan dirimu. Ingatanku tentang dirimu, janji kita berdua setahun lalu, memenuhi pikiranku. Kalau saja waktu itu kamu tidak memilih Wanda, kalau saja kamu tidak membuatku kecewa begitu sangat, mungkin sekarang kita tengah menikmati senja di Leiden. Seperti janji kita dulu, menimba ilmu di negeri Kincir Angin bersama. Mungkin ini rindu yang berlebih, rindu yang tengah memuncak. Mungkin ini sudah takdir kita. Ya, ikatan kita yang hanya bisa sebagai sahabat.
Keputusanku untuk mengikuti saran Tante Galuh untuk mengambil Antropologi disini, kurasa tepat. Meski ragu awalnya, tapi kusyukuri akhirnya. Mungkin kamu akan berpikir ini pelarian, jaga jarak, menjauh, atau entah kata apalagi yang tepat untuk menggambarkannya. Tapi sejauh apa jarak kita sekarang, tak dapat membuat ingatanku padamu hilang, walau sedikit. Pagi tadi saat di bus menuju kampus, aku melihat sepasang kekasih yang duduk di seberangku, dengan asyiknya membahas berapa banyak kalori yang ada pada secup ice cream yang mereka pegang. Aku kembali ingat dirimu… Dengan ice cream vanilla dan hazelnut yang slalu kita beli setiap sabtu malam, sehabis menonton DVD bersama.
Hatiku… mengucap kata merindukanmu…
Laksana… Nyata manis nuansa… dan jika…
Gemintang tiada lagi melagu… kisahku…
Yang mencinta dirimu… ‘kan slalu abadi…”
Gemintang – Andien
Kupikir semua hal yang kita lewati bersama berarti lebih dimatamu. Benar-benar dugaan yang salah. Ketika mendengar kamu menyatakan cinta ke Wanda setahun yang lalu, rasanya, lapangan basket pagi itu berubah jadi halaman luas yang beralas tanah dan bertabur daun gugur. Rasanya tidak mungkin. Tapi terjadi. Dan ketika melihat caramu menatap Wanda di saat perpisahan, detik itu aku sadar, betapa Wanda berarti sangat dimatamu, berbeda dengan caramu melihatku ketika itu.
‘’Kamu jadi di Leiden, Ris?” tanyamu santai ketika itu. “Emm, kayanya engga, Gi.” jawabku datar. “Terus?” kamu kembali melontarkan pertanyaan. “Yaaa… kamu liat nanti aja aku adanya dimana.” kembali kujawab sinis. Seketika kamu langsung memegang tanganku, seraya memberi tatapan khasmu. Tatapan tanda Tanya yang tajam. Maaf aku tidak bisa menjelaskan semuanya, maaf aku tidak bisa bercanda lagi seperti biasanya. Di akhir-akhir masa SMA itu, rasanya ingin aku skip saja. Berbagai pertanyaan yang seharusnya tidak boleh ada dibenakku, justru membanjiri pikiranku. Sejak kapan kamu menyukai Wanda? Apa yang membuatmu menyukainya? Tapi… Diam dan memilih pergi mungkin tindakan yang tepat kupilih. Untuk menjauhimu, tak membalas setiap message mu. Maaf…, Gi. Mungkin suatu saat nanti, waktu membuatku berani bertatap muka denganmu lagi.
Drrt…drrrt… Getar handphoneku kembali menyadarkanku dari lamunanku. Alarm untuk menonton Tintin rupanya. Jingga sudah membelai langit, tanda bagiku untuk segera kembali pada dunia nyata, menghilang sejenak dari dunia hayalku, hayalku yang berisi dirimu. Senja di taman ini menegurku, betapa disetiap hal yang kulihat terselip cerita tentangmu. Bahkan disetiap peristiwa sederhana yang kulihat. Di bus, di restoran, di jalan, di taman ini, bahkan di senja ini, Peristiwa-peristiwa hari ini seperti bersamaan membentuk sebuah bingkai. Bingkai dirimu, Gi. Bingkai seorang Ergi Pralangga yang selama 3 tahun menjadi sahabatku, yang membuat diriku nyaman, bahkan diantara kerumunan orang dan macet sekalipun, Ergi yang menyemangatiku di saat kuragu belajar gitar untuk tes dulu, Ergi yang manja, optimis namun tidak ambisius. Untuk kesekian kalinya, maaf, aku menyukaimu, Gi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar