Selasa, 03 April 2012

Feature


Romantika Ber-Angkutan Kota

            Duduk dengan berdesak-desakan, udara panas yang menyengat di luar, menambah sesak para penumpang yang menumpangi mobil bercat hijau tua  dan bertuliskan via Kalapa-Ledeng siang itu. Belum lagi asap rokok yang mengepul dari mulut Sang Sopir. Secuil cerita tersebut merupakan salah satu sensasi yang unik, yang acap kita rasakan ketika menumpangi angkutan kota. Mungkin ini yang disebut romantika ber-angkutan kota.

            Siang itu, sekitar pukul dua belas, kebetulan penumpang sedang penuh-penuhnya. “Geser, Teh, geser! Masih bisa di kiri satu lagi!” perintah Sang Sopir. Para penumpang yang sudah merasa sempit, dengan terpaksa bergeser demi satu ruang lagi untuk penumpang baru.
            Kilasan adegan di atas, kerap kita rasakan ketika berada di angkot (angkutan kota red-). Berdesak-desakan ria sembari menahan pengap. Segelintir sopir “nakal” terkadang dengan enaknya merokok tanpa memerhatikan para penumpangnya merasa terganggu. Entah tidak sadar atau pura-pura tidak sadar. Jelas, merokok di tempat umum dilarang. Terlebih jika kebetulan ada penumpangnya yang seorang ibu hamil atau seorang ibu yang membawa bayi atau balitanya. Sungguh membahayakan.
            Jika dianalogikan, terkadang menumpangi angkot sama menegangkannya dengan bermain wahana halilintar. Sebagai contoh, angkot via Kalapa-Ledeng. Kerap kali sopir angkot via tersebut, yang entah sengaja atau karena sebab lain yang tak dapat diketahui, menyetir dengan ugal-ugalan. Mempertunjukkan aksi menyalip indah. Para penumpang wanita dan ibu-ibu  biasanya  hanya bisa mengelus dada sembari memegang erat pinggiran kaca atau bangku.
            Sudah menjadi rahasia umum, jika sopir angkot terkadang menginstruksikan adegan TURUN-DAN-PINDAH pada penumpangnya. Menuruni penumpangnya sebelum sampai di pemberhentian akhir, lalu meminta penumpangnya pindah ke angkot lain yang searah. Jumlah penumpang yang tinggal sedikit, menjadi alasannya. Alasan lainnya, Sang Sopir mendapat orderan dadakan. Tanpa memikirkan kenyamanan penumpang yang tengah asyik menikmati perjalanan. Sepele memang, tapi agak menyebalkan juga, terlebih jika kita tengah asyik-asyiknya duduk sambil menikmati pemandangan dari dalam angkot, atau bila meminjam istilah anak muda sekarang, pewe (posisi wuenak), tiba-tiba diinstruksikan untuk pindah ke angkot yang lain. Pernah suatu ketika, seorang pria muda sedang asyik mendengarkan musik lewat earphonenya. Pria muda yang duduk di samping sopir tersebut, jengkel, ketika Sang Sopir berkata, “Pindah, Aa, ga usah bayar!”. Ia terpaksa turun dan pindah, walau bibirnya terlihat bergumam, “Kenapa, sih, Bang? Saya bayar penuh juga ga papa kali, Bang!”. Yaa, memang jika kita mengalami adegan TURUN-DAN-PINDAH, kita dibebaskan dari membayar tarif angkotnya. Walau begitu, kenyamanan perjalanan sampai tujuan adalah hal utama.
            Romantika lainnya yang kerap kita rasakan di angkot adalah menunggu. Menunggu seluruh bangku penuh dengan penumpang, untuk kemudian melaju. Menurut kaca mata sopir angkot, perihal agenda menunggu tersebut, terbilang wajar. Penumpang juga memaklumi betul agenda menunggu yang sering kita dengar dengan istilah ngetem tersebut. Namun, adakalanya penumpang jengah, lantaran angkot yang ditumpanginya terlalu lama ngetem. Kepentingan setiap penumpang yang berbeda-beda, menjadi sebabnya.  Ada yang memang memiliki kepentingan terntentu, sehingga penumpang tersebut dituntut terburu-buru. Semisal, seorang mahasiswa atau anak sekolah yang notabene harus datang tepat waktu, dikarenakan angkot yang mereka tumpangi terlalu lama ngetem, bukan tidak mungkin mereka akan telat. Wajar jika ada penumpang yang mengomel atau jengah jika angkot yang mereka tumpangi, ngetem terlampau lama.
            Terdapat pula hal manis yang dapat kita kantongi ketika menumpangi angkot. Kita dapat menemukan peristiwa-peristiwa sederhana yang unik, menggelitik, inspiratif, dan bahkan sentimentil, yang ditorehkan oleh sesama penumpang angkot. Mulai dari seorang ibu yang membantu anaknya mengerjakan PR sembari marah-marah, seorang anak SD yang mengadu kehilangan pensil pada ibunya, tapi Sang Ibu justru memarahinya, hehehe… Ada-ada saja. Belum lagi seorang wanita muda yang bertengkar via handphone dengan kekasihnya dan wanita muda tersebut menangis terisak-isak. Adalagi Seorang ayah yang dengan setia mendengarkan curhat anak lelaki kecilnya, Sang Ayah yang jika ditelaah dari pakaiannya adalah seorang karyawan itu, penuh antusias mendengar jagoan kecilnya berceloteh tentang matematika, tugasnya sebagai ketua kelas, hingga bermain futsal.
Sekali-sekali kita melihat sepasang muda-mudi dengan romantisnya berpegangan tangan, atau saling merangkul di pojok angkot. Sekelompok anak SMA yang bercakap-cakap tentang kehidupan sekolah sampai tetek-bengek percintaan mereka. Adapulan tiga orang mahasiswi yang saling antusias membicarakan tempat untuk membeli dispenser murah. Percaya atau tidak, secara kebetulan, kita terkadang menemukan informasi dari percakapan yang tak sengaja kita dengar dari sesama penumpang angkot.
Hal yang menggelitik juga kerap kita jumpai di angkot. Perihal ongkos umumnya. Pernah suatu ketika seorang ibu tidak mempunyai uang receh untuk membayar ongkos, ibu tersebut lalu mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu. Sang Sopir yang juga tidak memiliki uang receh, memaklumi lalu membebaskan ibu tersebut dari membayar ongkos. Tak hanya itu, pernah pula kejadian seorang pria muda tidak bisa membayar ongkos angkot karena dompetnya hilang. Entah benar atau tidak, tapi Sang Sopir angkot memakluminya.
Tetap Menjadi Pilihan
            Sekelumit kisah seputar sensasi ber-angkutan kota yang tergambar di atas, memiliki dua rasa, manis dan asam. Rasa asamnya, seketika memunculkan kata ketidaknyamanan dalam benak kita. Meski begitu, angkot tetap menjadi pilihan oleh sebab tarifnya yang murah. Tarif terjauh (pemberhentian akhir) hanya dibandrol empat ribu rupiah saja. Tentu, menjangkau semua kalangan. Walau terkadang harus berteman dengan asap rokok, berdesak-desakan, ngetem, instruksi TURUN-DAN-PINDAH, serta aksi mengebut dan menyalip indah yang menegangkan.  Murah, tak selamanya asam. Tak bisa dimungkiri masih dapat kita temukan rasa manis dari sensasi ber-angkutan kota, lewat beragam peristiwa sederhana yang inspiratif, unik, dan bahkan menggelitik, yang ditorehkan oleh sopir dan penumpangnya.    
                                              

                                              suasana di dalam angkot (angkutan kota red-)
                                                sumber gambar : aleut.wordpress.com



Inspiring Teachers


“Guruku tersayang, guru tercinta… Tanpamu apa jadinya aku…
Tak bisa baca tulis, mengerti banyak hal…
Guruku, terima kasihku…” 
Penggalan lagu klasik di atas, mengingatkan kita semua akan sosok guru favorit semasa sekolah dulu.  Guru yang bahkan wejangan-wejangannya tetap kita ingat, meski telah bertahun-tahun meninggalkan bangku sekolah. Cara mengajar yang bersahaja dan penuh ketulusan, membuat sosok guru favorit mampu membangkitkan semangat belajar murid-muridnya. Sesulit apapun pelajaran tersebut. Berikut adalah tiga sosok guru yang hingga detik ini menjadi panutan penulis.

Bu Mimin
            Terngiang senyum khasnya setiap saya mengingat sosok Ibu Guru yang satu ini. Senyum dan binar matanya yang memancarkan ketulusan dan kebersahajaan. Beliau adalah guru bahasa Indonesia saya, ketika duduk di bangku sekolah menengah pertama. Minkaesih nama lengkapnya. Penuh perhatian pada murid-muridnya, sabar, dan mampu membuat murid-muridnya antusias belajar bahasa Indonesia. Suatu pelajaran yang kita tahu, dicap sebagai pelajaran yang tidak penting dan membosankan. Beliau menjelma menjadi teman, setiap kali ia mengajar. Mungkin itu yang membuat kami antusias diajar olehnya.
            Pernah suatu kali, kami ribut dan tak dapat dikendalikan. Bu Mimin yang putus asa lantaran tak dapat lagi meng-kondusifkan seisi kelas, lalu menitikkan air mata. Kami spontan terperanjat dan merasa bersalah. Bu Mimin lalu berlalu dan kami seisi kelas menyesal karena membuatnya menangis. Dari semenjak itu, kami enggan ribut lagi (pada waktu pelajaran Bu Mimin).
            Momen lucu yang masih terekam jelas dibenak penulis adalah ketika bersalaman untuk pamit pulang. Sudah menjadi rutinitas, setiap pelajaran bahasa Indonesia (penulis lupa, apa semua pelajaran juga demikian) berada di jam akhir, selalu ada acara berpamitan sembari bersalaman dengan Bu Mimin (kita semua berbaris dulu, loh. Mirip anak TK ya? Hehehe…). Aku yang siang itu kebetulan menggunakan tas cangklek putih dan agak besar bentuknya, terkejut ketika Bu Mimin berkata, “Mau ke pasar, Bu?”. Beliau berucap sembari melirik ke arah tasku. Aku sempat terkejut lantaran Bu Mimin sebegitu jelinya memerhatikan muridnya. Aku lantas membalas perkataan Beliau sembari tersipu malu, “Hehehe.. Ibu bisa aja...”.

Bu Samini
            Fisika? Pasti sebagian kita langsung bergidik bila mendengar kata barusan. Yup! Saya juga termasuk yang fobia dengan pelajaran yang satu ini (susahnya ngga ketulungan!). Waktu saya duduk di kelas 8 sekolah menengah pertama, saya diajar oleh Bu Samini untuk pelajaran yang terbilang menakutkan tersebut. Bu Samini adalah seorang guru yang sabar. Walaupun ketika pertama kali mengajar, caranya terlalu cepat. Sampai suatu ketika kami semua protes, “Ibu, nggak ngerti!”. “Yang mana yang kalian nggak ngerti?” tanyanya. Kompak kami menjawab, “Semuanya, Bu!”. Meski agak sedikit terkejut mendengar kita tidak mengerti semua  materi yang Beliau ajarkan, Beliau akhirnya memaklumi dengan merubah cara mengajarnya menjadi lebih perlahan, dan selalu menyelipkan pertanyaan, “Ada yang kesulitan?”. Dari semenjak itu, kami yang tadinya sebal dengannya, menjadi suka padanya. Benar-benar guru yang pengertian. Yaa, Beliau paham kalau tidak semua anak cepat mengerti rumus-rumus dalam Fisika.
            “Rambutnya bagus, ga keliatan kaya abis dibonding. Tebel.” komentar Beliau mengenai rambut baru saya, yang habis di-rebonding. Hehehe… saya hanya bisa senyum-senyum salah tingkah. Ucapan lain yang saya ingat dan masih membekas hingga sekarang adalah ucapan beliau ketika saya dan beberapa teman saya tengah duduk di bangku depan sekolah dan dekat parkir motor (memorable betul, makanya saya masih ingat detailnya). Sembari mengelus punggung saya, Beliau berucap, “Neneng ini, calon guru.”. Saya lalu membalas ucapan Beliau sembari tertawa kecil dan heran kenapa Beliau berucap demikian. Dalam hati saya ketika itu, saya tidak ingin jadi guru. Tapi, ucapan Bu Samini kala itu adalah sebuah doa ternyata. Saya memang belum menjadi guru saat ini, tapi hati saya yang dulunya enggan menjadi guru, kini berbalik arah. Kini, saya berkeinginan untuk fokus dalam bidang pengajaran bahasa Indonesia selepas lulus S1 nanti. Iyah, jadi guru. Guru bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA) di luar negeri untuk 2 atau 3 tahun, lalu kemudian menjadi guru bahasa Indonesia SMP/A. *Doain, ya semoga terwujud! Amiin…

Bu Reni
            Jika semasa SMP saya bergidik dengan Fisika (SMA juga masih, sih... Hehehe...), SMA kelas 3 akhir, saya was-was dengan pelajaran musik, yang katanya akan tes gitar. Tes ini adalah salah satu pengambilan nilai untuk UAS (kalau tidak salah, yang jelas krusial sekali.). Brrrr.. dari beberapa bulan sebelumnya saya sudah tidak dapat membayangkan bagaimana ketika tampil nanti.
Terlebih guru pelajaran musik tersebut, terkenal killer. Namanya Bu Reni. Pernah ketika kelas 2, saya dan kelompok terkena semprotan Beliau, lantaran kami tidak ada persiapan untuk perform tugas musik. Ditambah lagi, kami cekikikan saat maju. Beliau lalu berkomentar dengan sinis selepas kami tampil, “Ga ada yang lucu! Kalian liat, kan, dari tadi saya nggak ketawa!”. Kami sekelompok lalu hening. Malu dan menyesal. Kemudian perkataan Beliau tersebut menjadi acuan buat kami untuk berpikir kreatif, kira-kira ide apa yang bagus untuk tampil minggu berikutnya (masih ada kesempatan di minggu berikutnya).
            Di minggu berikutnya, kami tampil se-terbaik mungkin. Serius tampil tanpa cekikikan lagi. You know what? We got A! Dari situ saya paham sifat Beliau, di matanya, siapa pun yang mau berusaha, akan Beliau hargai.
            Owkey, kembali ke tugas musik di kelas 3 akhir. Yup, nyaris saya menyerah dengan tes yang satu ini. Main gitar sambil nyanyi? Di depan seluruh teman sekelas? Whaaattt? Dan katanya tempatnya di aula. AULA? Tidak terbayang, di ruangan seluas itu nyanyi sendirian dengan puluhan pasang mata tertuju pada kita. Di rumah saja saya malu bernyanyi (malu sangat, sangat sangat sangat, yaaa… malu saja kalau suara saya terdengar oleh siapa pun, even itu my mom/dad). Tapi, entah kenapa pada akhirnya, saya memberanikan diri tampil (gilaaa, persiapan saya cuma 2 minggu!). Hufff… rasanya grogi kubik (grogi kubik? Cari di KBBI! Absolutely, nggak akan ada.).
            Eits, ternyata sifat Bu Reni yang saya duga sebelumnya, benar. Saya lulus, dengan nilai 78! Beliau sungguh menghargai muridnya yang mau berusaha. Bukannya saya bangga dengan persiapan saya yang instan, tapi saya bahagia karena Beliau menghargai perjuangan saya untuk berani tampil. Walaupun, suara saya nggak semerdu Raisa dan permainan gitar saya tidak se-jago Balawan. Bukan hal yang mudah buat saya untuk bernyanyi di depan kelas, karena saya pernah punya pengalaman yang tak mengenakkan seputar bernyanyi di depan kelas (bad experience itu terjadi ketika saya duduk di bangku sekolah dasar). Berkat tes gitar tersebut, saya jadi tidak singing-phobia lagi.
Terima kasih Bu Reni… Berkat Ibu, saya jadi berani untuk bernyanyi di depan umum, sendirian! Terima kasih juga, sudah membuat saya tidak bisa tidur semalaman, lantaran berbunga-bunga bisa lulus tes gitar! J Saya masih ingat perkataan Ibu sebelum mengakhiri pelajaran ketika di aula dulu, “Kalau  kita tidak suka dengan satu mata pelajaran, kita harus kenali dulu pelajaran itu. Sama kaya kita mengenal seseorang, jangan bilang tidak suka dulu, tapi kenali dan belajar untuk menyukainya.”. Woaaa… truly inspiring! Masih banyak wejangan dari Beliau yang masih saya ingat hingga detik ini (nggak mungkin kalau saya tulis semua, hehehe…). Sekali lagi, terima kasih, Bu…
Mungkin banyak diantara teman-teman semua yang juga mengalami pengalaman yang  sama dengan saya. Memiliki inspiring teachers semasa duduk di bangku sekolah, dengan berbagai kisah yang tentu terkenang slalu. Beliau-beliau adalah panutan saya. Kelak, ketika impian saya menjadi guru terwujud, saya ingin seperti Beliau-beliau, mengajar dengan tulus, bersahaja dan tentu menginspirasi murid-muridnya. :)

                       Bu Muslimah, guru yang sangat bersahaja dalam film Laskar Pelangi
                                       sumber gambar: jimi-wiser.blogspot.com

Minggu, 01 April 2012

Berkenalan dengan Flora-flora Unik


             Teman-teman pasti penasaran kan,  seperti apa sih rupa flora-flora unik tersebut? Seunik apa mereka? Hmmm… penasaran,  ya? Okeh, deh,  langsung saja kita berkenalan dengan Lithops si batu berbunga, Baobab si pohon botol, dan Dandelion si bunga kapas.

Lithops, Si Batu Berbunga
            Aku tumbuh secara alami di Namimbia, Afrika Selatan, dan Bostwana. Bentukku seperti batu, oleh karena itu banyak juga yang memanggilku si batu hidup. Daunku sebagian besar terkubur di bawah permukaan tanah dan batangku hampir tidak terlihat. Bunga dan daun baru dihasilkan lewat celah antara bunga yang mengandung meristem. Ketika musim dingin tiba, sepasang daunku yang baru akan tumbuh. Dan pada musim semi aku biasanya menggugurkan daunku yang tua. Daunku akan menyusut dan menghilang jika dalam keadaan kekeringan. Warna daunku tidak hijau seperti tumbuhan lain pada umumnya, melainkan berwarna coklat muda hingga tua atau abu-abu. Bentuk daunku juga sangat khas, seperti jendela dan bermotif titik atau garis merah. Aku biasa dibudidayakan dengan biji atau stek. Wah, pasti banyak dari teman-teman yang ingin memilikiku di rumah. Gampang kok, untuk perawatannya aku hanya butuh sinar matahari yang cukup dan aku juga bisa tumbuh dengan baik di tanah yang kering. Untuk menjagaku tetap dalam kondisi kering selama musim dingin, aku biasa disiram hanya ketika daunku yang tua mengering dan digantikan oleh sepasang daun baru. Dalam semua kondisi aku sangat aktif dan membutuhkan banyak air ketika musim gugur. Bentukku yang seperti batu dikarenakan aku hanya memanfaatkan sedikit cahaya matahari. Penampilanku itu membuat mamalia pemakan tumbuhan menganggapku kerikil dan enggan memakanku.
      
                                                                  jmgkids.us 
                                                                                                                
Baobab, Si Pohon Botol
                Teman-teman yang pernah menonton film The Lion King, pasti sudah tak asing lagi denganku. Yup! Rafiki si baboon tinggal di dalamku.  Bagi yang belum mengenalku, perkenalkan, nama ilmiahku Adansonia digitata, orang biasa memanggilku Baobab, si pohon botol. Bentukku menyerupai botol besar dan keanehanku terlihat dari strukturku yang seperti ‘terbalik’. Tinggiku bisa mencapai 5 - 30 meter dan diameter batangku bisa mencapai 7 – 11 meter. Banyak yang mengatakan aku bisa hidup ribuan tahun, tapi hingga saat ini hal itu sulit dibuktikan karena aku tidak menghasilkan lingkaran tahun. Lingkaran tahun merupakan akibat dari proses pertumbuhan jaringan kambium yang membentuk suatu lingkaran pada bagian batang tumbuhan (www.scribd.com). Lingkaran tahun merupakan tanda seberapa lama umur suatu tanaman. Aku biasa ditemukan di sabana Afrika dan India, terutama disekitar khatulistiwa. Aku tidak berdaun selama sembilan bulan setiap tahunnya. Batangku yang seperti botol dikarenakan selama bulan basah aku selalu menyimpan banyak air untuk persediaan sembilan bulan kering kedepan. Semua bagian tubuhku dapat dipergunakan. Di Malawi, Zambia, dan Zimbabwe, daunku dimakan sebagai sayuran daun. Buahku mengandung vitamin C yang lebih banyak dari jeruk dan dalam keadaan yang sudah dikeringkan daging buahku bisa dimakan dan disebut roti monyet. Kulit batangku bisa digunakan untuk membuat pakaian dan tali. Saking uniknya, Pepsi (produk minuman bersoda) Jepang pernah menggunakanku dalam produknya dengan edisi terbatas, disebut Pepsi Baobab yang digambarkan memiliki rasa seperti jeruk. 
                                                                                          sumber:  en.wikipedia.org                    

Dandelion, Si Bunga Kapas
            Nama ilmiahku Taraxacum Officinale. Bentukku yang berbeda dari kebanyakan bunga. Jika bungaku ditiup, menyerupai kapas yang berterbangan. Pada dasarnya aku adalah bunga liar yang tumbuh di halaman rumah, padang rumput yang luas, atau di berbagai tempat, oleh sebab itu banyak yang mengabaikanku. Tapi tidak sedikit lho, orang yang mengagumi keunikanku dan menaruhku di rumah-rumah mereka sebagai tanaman hias. Oh, ya, aku bisa dipergunakan sebagai obat hepatitis lho.

                                              smber gambar : betterlivingwithherbs.com  

Sumber :
Wikipedia.org
 trubus majalah
www.blueplanetbiomes.org
www.ff.unair.ac.id