Senin, 19 Maret 2012

semoga menginspirasi.... ;)


School of Life
            “Kiri, Pak!” sahutku pada babang angkot. Babang angkot pun menuruniku persis di depan sebuah gedung yang bercat coklat. “Ini, Pak, dua ribu rupiah.” kataku sembari memberi uang dua ribu rupiah pada babang angkot tersebut. Langkah kakiku masih lunglai lantaran selama perjalanan dua jam di bus tadi, aku hanya duduk tanpa bergerak sedikit pun. Itu karena penumpang yang duduk di sebelahku tertidur dengan pulasnya dan mengambil lahan tempat dudukku. Hampir saja ia bersandar di pundakku. Kaki yang pegal barusan, seketika hilang ketika mataku memandangi sebuah gedung yang bercat coklat, yang kini ada di depanku. Kampusku. Kampus yang tak pernah ada dibenakku untuk kujadikan pilihan. Sama sekali aku tak menyangka ketika kuputuskan akan belajar di sini. Entah angin apa yang membawaku kemari. Mungkinkah takdir? Fiuh, aku menghibur diriku dengan berkata dalam hati, “Belajar bisa dimana pun, Luh…”.
            Hari ini ada kumpulan untuk persiapan ospek minggu depan, tempatnya di lantai 5. Dengan wajah yang ku setting agar terlihat tenang, aku menaiki lift menuju lantai 5. Hati ku sama sekali tak tenang. Ini pertama kalinya aku masuk kuliah, teman baru, lingkungan baru, dan tentunya dunia baru. Kuliah tentu akan beda dengan SMA. Disini, di tempat yang akan menjadi tempatku untuk belajar hingga beberapa tahun ke depan, apa bisa kutemukan sahabat-sahabat baru? “Hhhh… cukup, Luh, jangan bikin panik diri sendiri!” kembali suara hatiku menenangkanku.
            Sampailah aku di lantai 5, dan nampaknya itu ruangan tempat kumpulnya. Aku pun bergegas menuju ruangan yang dijaga oleh dua orang di depan pintunya. Pasti seniorku, mukanya agak tidak bersahabat. Sama persis dengan yang kutonton di film-film remaja, senior selalu memasang tampang HORMATI-GUE. “Jurusan apa, De?” tanya salah satu dari mereka. “Gizi, Kak.” jawabku berusaha membalas muka jutek mereka dengan keramahan.
            Di dalam ruangan, aku hanya bisa bersandar di dinding belakang. Semua orang kulihat sudah saling kenal sepertinya. Mereka memang sudah kuliah semester pendek, karena masuk pada gelombang awal. Sementara aku, baru masuk gelombang 4. Menyedihkan sekali, belum ada teman, sementara yang lainnya asyik bercanda.
            “Ayo, Luh, kenalan, jangan diem aja.”. lagi-lagi hatiku yang bicara. Mataku tertuju pada seorang gadis berkulit hitam manis, dengan rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai, dari penampilannya bisa dikategorikan feminim. Aku memilihnya untuk berkenalan karena jka ditelaah dari jauh, agaknya ia ramah. Aku pun memberanikan diri menghampirinya. “Hai, boleh kenalan?” tanya ku. “Oh, iya, boleh. Aku Wita, kamu?” balasnya ramah. Hmmm… dugaanku benar. “Aku Galuh, Galuh Prameswari, jurusan Gizi, kamu?” kataku disusul dengan pertanyaan. “Oh, ya? Aku juga Gizi. Kamu baru daftar ya?’’ ujarnya sembari bertanya lagi. “Iya, aku baru masuk gelombang 4, bareng yah? Boleh?” pintaku. Ia pun mengiyakan, entah kebetulan atau tidak, aku sekelompok ospek dengannya. 

                                                                         ***
            “Dorr!” tiba-tiba Wita mengagetkanku. Membuyarkan ingatanku saat pertama kalinya masuk kampus ini. Wita yang pertama kalinya mengulurkan keramahannya waktu awal masuk dulu, sudah beberapa bulan ini menjadi sahabatku di kampus ini. Oh, ya, lagi-lagi kebetulan, kami berdua  sekelas. Kini kami tidak hanya berdua, tapi bersepuluh. Ada Nurul, yang akrab kami panggil Nyu-nyun. Tidur adalah hobinya, gadis Bangka yang satu ini, suka sekali menggambar. Tadinya ia ingin masuk DKV di salah satu institut swasta di Bandung, namun gagal dan akhirnya takdir membawanya kemari. Berbeda dengan Nyu-nyun, Rusi, gadis Batak berkulit putih dan sering kita panggil ratu mall, dulu ingin sekali tembus FK UI, tapi, lagi-lagi takdir yang .berkata. Lalu ada Adi yang kukenal pertama kali di kelas TOEFL dulu. Cerita ia pun tak jauh berbeda dengan kita, sama-sama terpental dari pilihan masing-masing, lalu terdampar di sini. Masih ada Meli, Resti, Fepy, Bonita, dan Anggi. Iseng, kami membuat kumpulan yang kami namai Maju Mundur. Semboyan kami, Majuuu.
            “Luh, kantin yuuk, laper nih.” ajak Wita. “Yuuu, eh, iya, tugas Anatomi udah?’’ tanyaku. “Udah sih, tapi belum semua. Besok kerjain bareng, yuuk..” jawab Wita. “Ok.” kita pun sepakat besok mengerjakan anatomi bersama, dan meninggalkan perpus untuk menuju kantin.
            Rupanya kami telat, anak-anak yang lain sudah lebih dulu di sana. “Wey, telaaat.!” Resti menyambut kami. “Pasti kalian dari perpus.” tebak Nyu-nyun. “Ko, tau sih?.” aku malah balik bertanya. “Nyu-nyun gituloh!” Nyu-nyun bangga. “Kalian udah pada ngerjain anatomi belum?” tiba-tiba Bonita bersuara. Kami semua menggeleng. “Belum semua, sih.” jelas Wita, yang dikenal paling rajin diantara kami. “Itu kan banyak banget, udah gitu susah lagi.” Hmm… Adalah Bonita selalu bikin kita was-was. Cewek yang selalu tampil dengan rambut belah tengah dan kuncir poni ini, selalu bikin panik kami, dengan dugaan-dugaannya yang tidak separah kenyataannya. “Tapi tadi kata Acit, nggak ah, Bon. Dia kan udah kelar ngerjain.” Rusi mencoba menenangkan kami. “Aduh, Bon, bikin gue was-was aja, nyaris bikin gue ga napsu makan ni baso.” ujar Adi sembari menyeruput kuah baso. “Hahhhahaha…” tawa kami semua. Seketika wajah Bonita menyerupai api yang membara. Hahahaha….
            Sepulang dari kampus, aku memilih untuk membersihkan kamarku. Kosanku berjarak tidak jauh dari kampus, hanya 500 meter. Berada di sebuah kampung yang mayoritas warganya asli Betawi, memberi warna tersendiri bagiku. Pagi-pagi ketika akan berangkat ke kampus, aku selalu disambut oleh bau tidak sedap yang sumbernya dari TPS (Tempat Pembuangan Sampah) yang berada persis di depan kosanku. Kehidupan gang-gang sempit khas Jakarta, benar-benar kurasakan sendiri. Sebelumnya, aku hanya bisa melihat pemukiman padat khas Jakarta hanya dari layar TV. Semuanya menjadi khasanah tersendiri di mataku, Tapi, ada satu hal yang paling aku sebal, entah karena disebelah kosanku adalah KUA, yang kulihat sering sekali orang mengadakan hajat. Hampir di setiap malam minggu. Sialnya terasa ketika aku akan ujian. Organ tunggal, orang yang berdangdut ria, kadang mengganggu konsentrasi belajarku. Walau begitu, kadang aku menikmatinya juga. Pernah suatu ketika, aku sedang enak-enaknya makan siang, tiba-tiba dikejutkan oleh suara dentuman yang nyaris menyerupai suara bom dan meruntuhkan pasir-pasir tembok kamarku yang memang sudah agak rapuh. Kukira itu petasan khas hajatan orang Betawi, ternyata sekumpulan anak kecil yang tengah bermain petasan. Hhahahaha… Ada-ada saja.
            Sekilas kehidupanku tenang-tenang saja, aku terlihat menikmati segalanya, tapi… hatiku bergejolak, dalam tiap renunganku aku selalu bertanya, kenapa aku harus terdampar di sebuah kampus swasta yang namanya bahkan belum dikenal orang. Bagaimana jika aku bekerja nanti? Tentu akan diutamakan mereka yang lulus dari universitas ternama. Aku gamang.
            Malam harinya, ketika aku sudah selesai shalat Isya, aku membaca majalah travel bekas yang kubeli saat iseng-iseng jalan kaki. Sudah menjadi kebiasaanku bertualang dengan berjalan kaki. Tugas Biologi dan Gizi Kuliner sengaja aku skip besok pagi saja. Braak… Tiba-tiba pintu kamarku terbuka, sepertinya ada yang sengaja mendobraknya. Kuperhatikan, tak ada seorang pun yang tampak. Tapi kemudian, “Door! Godain Galuh, ah. Lagi ngapain, Luh?” sapa Kak Dwi mengagetkan. “Lagi baca-baca iseng aja.” jelasku santai. Kak Dwi, teman satu kosku. Di kosan ini ada tujuh orang. Aku, Nindi, Kak Dwi, Kak Uci, Kak Gita, Kak Sofi dan Kak Sri. Kami semua perantauan, apalagi Kak Sri dan Kak Sofi yang jauh datang dari Papua. Fiuhh… aku menghela nafas lega. Ternyata Kak Dwi. “Luh, lo mau ke Italia, ya?” tiba-tiba Kak Dwi bertanya itu, mungkin ia melihat peta Italia yang sengaja aku sobek dari Atlas punya adikku, dan kutempel di dinding. “Ya, gitu deh, ko tau, Kak?” tanyaku heran. “Yaiyalah, tuh, kenapa ada gambar Italia disitu?” balasnya. ‘’Apaan nih? Luh, lo demen jalan-jalan, yah?” tanya Kak Dwi lagi. Rupanya ia memperhatikan buku travel bekas yang sedang ku baca. “Yup!” jawabku yakin. Sepertinya Kak Dwi sedang menganalisis benda-benda yang ada dikamarku, dan kali ini, brosur UI yang kutempel di lemari menjadi target pertanyaan selanjutnya. “Lo mau banget di UI, ya, Luh?” tanyanya lagi. Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba Nindi yang kami juluki orang kaya lantaran demen jajan plus belanja, ikut nimbrung. “Heyy, gosiiip muluu!” ujarnya dengan mimik ala Feny Rose. “Kenapa? Mau ikutan?” jawab Kak Dwi. Kami bertiga memang sering ngobrol, dari tentang anak Autis hingga masalah percintaan. “Luh, tadi lo belum jawab pertanyaan gue.” Kak Dwi mengingatkan. “Ga tau kenapa, aku masih pingin wujudin keinginan aku kuliah di sana. Rencananya, aku pingin nyoba tes lagi tahun ini.” jelasku.
            “Gue juga dulu pingin di UI, tapi.. yaudahlah, emang di sini yang terbaik buat gue. Gue bersyukur, Fisioterapi yang paling bagus kan, di sini, di kampus kita.” Nindi bersuara. “Emang apaan yang bikin lo pingin ke UI? Belajar, dimana-mana sama, Luh.” sambung Nindi lagi. “Gue ga maksud bandingin kampus kita sama UI, Ndi. Gue cuma pingin buktiin ke diri gue, gue bisa masuk universitas yang ternama. Suatu saat gue kerja, gue ga takut bersaing dengan yang lain.’’ jawabku gamang. “Yaelah, ga usah khawatir kali. Kampus kita kan cukup tenar juga.” Nindi berusaha menghibur diri. “Galuh bener, Ndi. Gue udah capek kali, tiap ditanya orang, kuliah dimana, gue jawab kampus kita, eh, ga ada yang tau. Cuma dikit yang tau.” Cerita Kak Dwi. “Berarti lo punya niatan pindah, Luh?” Kak Dwi mengintrogasiku lagi. “Baru rencana sih.” jawabku pelan. “Orang tua lo, setuju?” ujar Kak Dwi dengan muka penasaran. “Agak kurang setuju, sih. Hhh…” jawabku gamang. “Gue saranin sih, mending jangan, takut tua diumur, Luh. Sayang kali, ketinggalan setahun.” saran Nindi. “Orang tuh beda-beda, Ndi.” terang Kak Dwi. “Sebenernya takut juga kalau nyoba tes lagi. Tapi, kalau ga dicoba, mana tau kita bisa apa engga, kan?” jelasku. “Kemaren lo belum nyoba UI?” tanya Nindi. “Belum, Ndi, seleksi PTN kemaren, gue gagal dan belum sempet nyoba UI. Walaupun kalau gue nyoba, belum tentu dapet, gue masih pingin nyoba.” jelasku. “Kalau lo ntar pingin nyoba lagi, gimana pun hasilnya, lo jangan pernah sesalin, Luh.” nasihat Kak Dwi.
            “Gue yakin, Luh, orang yang gigih kaya lo, bisa wujudin impian.” Kak Dwi memberiku semangat. Aku seperti mendapat dorongan semangat dari kata-kata Kak Dwi barusan. “Gue juga sempet ngalamin apa yang lo rasain sekarang, Luh, tapi sekarang gue udah lewatin masa-masa itu. Tuhan itu adil, kenapa gue ditempatin di sini. Dulu gue orangnya pendiam banget dan saking diemnya, orang segan deketin gue, tapi, semenjak gue kuliah di sini, gue ketemu temen-temen yang rame, dan… lo liat kan sekarang? Setiap pilihan itu ada enak dan gak enaknya, Luh. Bersyukur adalah jalan satu-satunya supaya kita bisa lewatin semuanya, semangat, Luh!” Kak Dwi kembali mengeluarkan senjata andalannya, suntikan semangat. “Yups, tengkyu, Kak.” jawabku, kali ini dengan penuh semangat. “Beli makan, yuu… “ seketika Nindi mengajak kami pergi keluar membeli makan. “Yuuu…” aku dan Kak Dwi kompak. “Aku mau Ayam Bakar, ah.” ujar Nindi. “Wuuu… orang kayaaa.” kita berdua berseru. Obrolan kami tutup, dan kemudian kami pergi membeli makan.
            Esok paginya, aku bangun pagi dengan semangat. Bau sampah yang menyengat, begitu aku membuka pintu kosan, tak kuhiraukan. Langkah kaki terasa ringan, efek dari kata-kata nasihat Kak Dwi semalam. Ini mungkin yang disebut kata-kata motivasi. Benar-benar menginspirasi. Jam di handphoneku masih menunjuk pukul 07.30. Aku memutuskan nangkring di perpus dahulu, sebelum kuliah pukul 09.30 dimulai. Aku tahu perpus pagi-pagi begini belum dibuka, pasti sedang dibersihkan, tapi sengaja aku datang awal dan memilih duduk di bangku depan perpus. Tujuanku adalah membooking komputer nomor dua, yang selalu kupakai untuk internetan dan mengetik tugas. Maklum, aku belum memiliki laptop. Untungnya, di perpusku ini, tersedia tiga unit komputer. Walaupun yang ada Ms. Word dan bisa akses internet hanya yang nomor dua. Itu sebabnya aku selalu membooking yang nomor dua. ‘’Pak, boleh, naruh tas di dalem? Cuma naruh tas aja kok, Pak.” tanyaku pada Bapak penjaga perpus. “Boleh.” jawabnya ramah. Sepertinya ia telah hapal dengan kebiasaanku membooking komputer nomor dua. Selepas menaruh tas di dalam perpus, aku kembali duduk di bangku depan perpus. Duduk sambil melihat ke arah dalam ruangan yang sedang dibersihkan dan berisi buku-buku. “Kamu harus bersyukur kulish disini, Luh… “ kataku dalam hati.
Saat di kelas Ilmu Bahan Makanan, “Hari ini lo semangat banget, Luh. Kayanya sumringah beneeerr..” sapa Adi. Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Jika kemarin-kemarin aku selalu menyanggah perkataan Pak Martin, lantaran nada bicaranya yang sombong, kini materi dari Beliau kutelan dengan nikmat. Tak kupedulikan lagi nada bicaranya yang congkak. “Harus tahan, Luh. Dia bukan sombong, hanya kelewat pintar. Profesor gitu loh.. Kapan lagi diajar sama professor…”
Karena hari ini hanya satu matakuliah, pukul 11.30, aku sudah pulang. Janji mengerjakan tugas bersama, kami pending esok hari, lantaran Wita ada urusan dadakan yang amat penting. Acara jalan-jalan keluarganya. Lagipula anak-anak Maju Mundur lainnya, memilih pergi nonton bioskop. Aku yang terdesak dengan kantong yang menipis, menolak ajakan Maju Mundur untuk nonton bioskop. Harap maklum, tanggal tua. Mereka pun, mengerti keadaanku.
Hal yang patut kusyukuri lagi, selama di sini adalah mendapat sahabat-sahabat yang baik dan menerima apa adanya aku. Aku yang notabene datang dari kota kecil dan tidak berpenampilan selayaknya muda-mudi ibu kota kebanyakan. Pernah suatu ketika, Aku, Nyu-nyun, dan Wita pergi hang out ke salah satu mall yang letaknya tidak jauh dari kampus kami, kami memutuskan makan di salah satu restoran Jepang cepat saji. Wita dan Nyu-nyun memesan Chicken Katsu, sementara aku dengan polosnya mengeluarkan kotak makanku yang berisi nasi, telur dadar dan sambal ijo yang kubeli di warung Padang. Tidak terlihat rasa malu di wajah mereka saat melihat aksiku, entah dalam hati mereka seperti apa. Walaupun aku tahu beberapa pelayan melihat aneh ke arahku.
Kembali ke siang, pukul 11.30 tadi, sesampainya aku di kosan, perutku begitu keroncongan, sialnya, aku tidak sempat membeli nasi untuk makan siang. Apa daya, aku bergegas mengambil mie instan dan memilih untuk merebusnya di bawah. Di kosanku ada dapur, tapi menyatu dengan rumah ibu kos ku, yang terletak di lantai bawah. “Eh, ada Galuh, masak mie ni yee..” sapa ibu kos ku hangat, begitu aku sampai dapur. “Iya nih, bu. Hehehe.” jawabku. “Nanti kalau mau nasi, ambil aja. Ga usah malu-malu.” tawar Ibu. “Makasih, Bu. Jadi ngerepotin. Hehehe…” ujarku malu-malu. “Ga papa, Galuh ini, suka malu-malu.” kata Ibu lagi. Setelah selesai memasak mie, aku pun kembali naik tangga menuju kamarku dan siap menyantap mie instan yang dilengkapi nasi pemberian Ibu. Hmm… nikmatnya. Ibu kos ku perhatian sekali, selalu menawariku nasi jika aku sedang memasak mie di dapur. Pernah, di suatu sore, kami yang tengah nonton TV di atas, terbatuk-batuk karena mencium wangi tumisan. Ibu sedang memasak Tumis Tahu rupanya. Agaknya Ibu mendengar kami, anak kosnya terbatuk-batuk di lantai atas. “Siapa itu yang batuk-batuk?” tanya Ibu. Kami semua terkekeh sambil menuding satu sama lain. “Galuh, Bu. Pingin katanya.” ujar Kak Dwi bercanda. “Bukan, Bu. Nindi.” kataku menuding Nindi. Hihiihi… “Boong, Bu, Galuh ni, Bu.” gantian Kak Sofi yang menudingku. Tak berapa lama, Ibu naik ke atas, dan memberi kami semangkuk Tumis Tahu. Kami mencicipinya bersama-sama. Hmm… Lezatnya sampai ke ubun-ubun. Tahu, apa yang membuat Tumis Tahu ini enak? Yup! Suasananya. Kebersamaan yang sangat akrab yang mengobati rasa rindu kami akan keluarga masing-masing.



“It’s in my life, my heart, my soul
my sense of love…
There, I will try to find, a peace of mind..

And in my life, my heart, my soul,
My sense of love…
The living pearls of life for me to find..
In my mind, so my heart won’t go blind…
In my life…”
                                      Sherina- My life

                                                          ***
Tes.. Air mataku tiba-tiba menetes, jatuh di atas scrapbook yang berisi foto-foto dan opini mereka tentangku. Kado dari Maju Mundur. Aku tak kuasa membuka halamannya lagi. Berbagai kenangan terangkum di situ. Foto-foto ketika kami menginap di rumah Wita karena kemalaman, selepas dari menengok Meli yang sedang sakit kala itu. Foto-foto ketika di salah satu kedai es krim tua, sehabis membeli buku di Senen, dan sempat beradu mulut untuk menawar buku Gizi dengan seorang penjual buku yang laganya seperti preman. Belum lagi foto-foto kami yang dengan noraknya berpose di lobi lantai dua. Kampus serasa milik kami ketika itu.
Kini aku tidak lagi di sana. Kebaikan Ibu kosku, kehangatan teman-teman satu kos ku, obrolanku tentang impian dengan Kak Dwi yang kini sudah menjadi sarjana Psikologi dan Nindi di malam itu, benar-benar kenangan yang menempel dan mengena di hati hingga saat ini. Belum lagi suasana kos ku dulu yang unik. Kini aku berkuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di Bandung Utara, dan tak pernah kulupakan semua kenangan manis itu. Ya, selepas kulewati satu semester di kampusku dulu, dengan berbagai pertimbangan, akhirnya aku memutuskan untuk mengikuti seleksi nasional PTN untuk kedua kalinya. Seperti nasihat Kak Dwi dulu, “Apapun hasilnya, jangan pernah lo sesalin, Luh.”. Aku akhirnya lulus ujian saringan nasional tersebut, walau bukan di UI, tapi aku bersyukur. Impian ku untuk masuk PTN terwujud.
Pernah berkuliah di kampus lamaku dulu, adalah episode terindah dalam hidupku. Merasakan indahnya kehangatan keluarga kedua dan  sahabat-sahabat yang pengertian. Aku belajar banyak tentang hidup dari kampus dan lingkungan kos ku dulu.  Dari kampus swasta di bilangan Jakarta Barat yang namanya tak begitu dikenal itulah aku banyak belajar. Tentang hidup, bahwa hidup harus slalu bersyukur, walau berada di tempat yang tak pernah diingini sekalipun. Kampus dan kosan yang sudah seperti sekolah kehidupan bagiku. Kuberi nama School of life.

*waktu nulis ini, saya ketawa, menangis, dan terharu sendirian. Truly memorable, guys... 

Ups, ada cerpen baru, guys!



Ups, Jimbe, I’m in Love!

          “Dua minggu lagi kita ujian aransemen, buat nilai UTS ! So, persiapkan diri kalian. Oh, ya, saya minta minggu depan kalian udah punya konsep masing-masing, okey?” tegas Bu Ires. Seketika kelas kami riuh. “Oh, ya, bagi kelompok sekarang juga, lima atau enam orang cukup. Okey? Selamat siang dan sampai jumpa minggu depan!” ujar Bu Ires mengakhiri pelajaran sembari memasang ekspresi SELAMAT-MENGERJAKAN-ARANSEMEN-ANAK-ANAKKU-SAYANG! Seketika kelas kami riuh. Rai, selaku ketua kelas kami, angkat bicara, “Wey, Attention please! Guys, mulai bagi kelompok ya… Yo, berhitung dari depan, 1 sampe 6 yah… Mulai !”. Giliranku, “Tiga!” teriakku lantang. Selepas seisi kelas berhitung, giliran Asti menulis nama-nama anggota kelompok di papan tulis. Aku yang tak begitu antusias dengan pelajaran seni musik, memilih mengisi LKS Biologi saja. Sampai terdengar suara Asti menyebut teman-teman sekelompokku, “Kelompok tiga , Ari, Joni, Dwi, Saski, Adi, dan Raden. Ok, lanjut kelompok empaaat..”. “WHAT? Gue sekelompok sama Ari? Ari Nugraha yang menurut trade record temen-temen, orangnya perfeksionis abis. Arrghh…. Tamat gue! Mana gue ga jago main musik lagi. Arrghhhh…” gerutu ku dalam hati. Seketika LKS Biologi ku coret-coret.
Teet-teet-teet, bel istirahat berbunyi. “Arrrgghh… bête, bête, bête, bêteeeee!” teriakku pada Dira yang sedang asyik baca Conan di Basecamp kita yang terletak di tangga menuju Laboratorium.  “Kenape lo? Autis!” tanya Dira heran. “Gue sekelompok aransemen sama Si Mr. Per-fek, ARI NUGRAHA! Itu artinya, gue kudu siap dibentak-bentak, diatur-atur, pokoknya, Arghhhhh….!” jelasku panjang lebar dan penuh emosi. “Yaelah, nikmatin aje kali.” ujar Dira santai. “Weey, udah pada nongkrong aje ni ibu-ibu PKK.” tiba-tiba Thea yang baru kelar pelajaran Geografi ikut nimbrung. “Muke lo nape, Sas?” tanya Thea, yang heran dengan ekspresi bête ku. “Gue sekelompok aransemen sama Si Mr. PER-FEK ARI-NUGRAHA!” ke-bete-an ku memuncak. “Lebay lo! Yaudah kali, lo terima aje. Gue juga sekelempok sama orang yang paling gue sebel di kelas, tapi gue fine-fine aje tuh. Yaudah nikmatin aje kali, Sas.” saran Thea. “Hhhh… iya iya, ok, perut gue ude laperrr niy, kantin yuu..” pintaku pada Dira dan Thea. “Kalian ga mau nunggu Rahma sama Nunik?” tiba-tiba Dira ngingetin kita, masih ada dua anggota kita, yang belum kelar pelajaran. “Oh, iya!” ujar Thea dan aku.
Keesokan harinya, pagi yang cerah ceria tiba-tiba berubah menjadi abu-abu. “Sas, sini! Kita lagi ngomongin konsep buat aransemen nanti.” Ari menyapa aku yang baru saja beberapa langkah sampai di kelas. Dengan muka yang ku setting seolah bahagia disambut oleh sapaan ketusnya, aku melangkah menuju gerombolan kelompokku. ”Semalem gue udah kelar bikin konsepnya. Nanti kita bakal nampilin lagu Disco Lazy Time-nya Nidji yang bakal diiringin sama jimbe dan…. Yaa, sentuhan Afrika gitu deh.” jelasnya panjang lebar and of course dengan nada bicaranya yang congkak. Seketika aku senyum-senyum sendiri membayangkan Ari memakai kostum ala suku-suku Afrika dan bicara dalam bahasa Tarzan. “Kenapa lo, Sas? Ketawa-ketawa sendiri. Pikirin dong konsep kita gimana, ini bukan main-main kali, nilai UTS kita diambil dari sini!” tegur Mr. Perfek yang menangkap ekspresi mesem-mesemku. “Always nilai! Ga bisa apa… sekalii aja, ga mikirin nilai?” gerutuku dalam hati. Yeah, bukan rahasia umum lagi, kalau Ari hobi banget mentingin nilai. Pernah satu kali dia nonjok tembok, cuma gara-gara nilai Matematikanya 97! What? 97 tuh udah bagus banget kali! Aku aja yang dapet 81, jingkrak-jingkrak kegirangan! Sekolah tuh bukan cuma nilai, nilai, dan nilai aja! “Kenapa gue ga dapet 100?!” gerutu Ari sambil menonjok tembok kala itu. I don’t think he have a girl friend. Knock knock on the wood deh,  jangan sampe aku punya cowok yang ambisius kaya dia.
Siang ini aku absen ke kantin bareng sohib-sohibku. Ya, apalagi kalau bukan kerja kelompok aransemen. “Karena kita butuh jimbe, Sas, lo ambil jimbe di Mushola ya. Pinjem punya anak-anak Nasyid. Ga pake lama, ya!” dengan enaknya Mr. Perfek menyuruhku mengambil jimbe. “Ambil jimbe? Gue? Becanda lo, Ri! Gue kan cewek! Kan ada Joni sama Adi. Masa gue yang ambil? Arghhhhh!” emosiku dalam hati. “Joni sama Ari lagi pinjem gitar.” terang Ari, seolah membaca pikiranku. Hufh… Aku menghela nafas sabar dan tanpa perlawanan aku mengikuti arahannya. Entah aku habis menelan pil apa, aku jadi sabar begini. Mungkin efek nemenin Bunda nonton ceramahnya Mamah Dedeh tadi pagi. “Jadi orang harus sabar.” nasihat Mamah Dedeh. Ok, back to the real situation, tidak terbayang mengangkat jimbe dari Mushola sampai kelas. Naik tangga lagi! Hhhhh…. Tubuhku lunglai. “Oh, ya, Sas, sekalian sama rebana juga ya!” Ari menyahutiku dari jauh. Hhhhh…. Arggghhhhhh…. Aku autis sendiri sambil jalan menuju Mushola. Terdengar suara cekikikan dari kelas 11 IPA 2 yang kulewati, pasti mereka menertawaiku. Mungkin aku bakal di cap sebagai kakak kelas yang paling aneh. Ahhh, peduli amat. Membawa jimbe yang ditambah rebana di atasnya lebih-lebih beratnya dari mengangkat galon air yang biasa aku lakukan di rumah. Haaaaaa… berat sekaliiii… rasanya pinggang ini encok!
“Dwi, Joni, sama Raden, nyanyi. Gue gitar, Adi pegang jimbe, dan lo, Sas, main rebana.” atur Ari. “Ini teksnya, kalian yang nyanyi hapalin di rumah, Di, lo ikutin musiknya, pokoknya yang pegang jimbe sama rebana, tugas kalian sebagai pengiring. Ketukannya ikutin gue.” jelas Ari. “Pegang rebana? Hhhh… kenapa ga lagu religi aja sekalian?” omongku dalam hati.        Teet-teet, bel berbunyi dua kali, tanda jam istirahat habis. “Ok, ntar abis balik skul, kita lanjut. Alat-alat taruh di belakang kelas aja.” suruh Ari. Kami yang sejak tadi latihan di depan Lab, bergegas kembali ke kelas. Untungnya, sekarang Adi yang bawain jimbe. Aku kebagian membawa rebana saja. Yes!
Sepulang sekolah aku melangkah menuju kelas IPS 3, aku bermaksud memberitahu Rahma kalau hari ini aku ga bisa balik bareng. “Ma, gue ada latian aransemen, kalian balik duluan aja.” kataku. “Oh, ok, balik sendiri berani, kan?” tanya Rahma. “Berani,lah,emmm… btw, doain gue ya, biar gue bisa tahan sekelompok sama Si Mr. Perfek.’’ ujarku pada Rahma. “Mmm, ntar juga lo tahan. Awas, ati-ati lo, jangan kelewat sebel ma seseorang, bisa-bisa jatuh cintrong lagi!” canda Rahma. “Hah? Jatuh cintrong? Sama dia? Knock knock on the wood deh gue! Orang nyebelin kaya dia, pantesnya dibuang ke Segitiga Bermuda!” ucapku sebal.  “Emm, sebel itu artinya seneng betul, loh!” goda Rahma. “Udah-udah, cukup, gue balik ke kelas dulu, ya, sebelum gue dimarahin sama Si Bos Ari.” ujarku sembari ancang-ancang balik ke kelas. “Mmm, sekarang diganti ya, namanya. Tadi Mr. Perfek, sekarang Si Bos, besok?” kata Rahma lagi. Aku buru-buru tutup kuping. “Awas, Sas, ntar jatuh cintrong!” terdengar suara Rahma berteriak. Aku yang tak menghiraukan teriakannya, bergegas menuju kelas.
“Mulai yah…” Ari mengomando kami. “Wake me up tonight...” yang kebagian vokal, mulai menyanyi. Sementara aku dan Adi mengiringi gitar yang dimainkan Ari. Hmmm… lumayan, dengan sendirinya aku mulai menikmati. Latihan pun usai, dan akan disambung esok hari. Sebelum balik,  “Sas, anterin gue balikin jimbe sama rebana, dong! Gue yang bawa sampe depan Mushola, tapi ntar lo yang gotong sampe dalem Musholanya.” Ari sempet-sempetnya menyuruhku. Hhhh…
Besoknya, sebelum bel masuk berbunyi, aku meluapkan kekesalanku pada Si Bos, panggilan baru untuk Ari Si Mr. Perfek, pada sohib-sohibku. “Gila, ganas juga tuh cowok. Masa lo disuruh gotong jimbe segala?” tanya Nunik heran. Aku mengangguk. “Sabar ya, Sas. Kita turut prihatin. Hhahaha” canda Thea. “Puas ya, liat gue menderita?” kataku ketus. “Tenang aja, Sas, Baim celalu doain, Saski, kok. Amiin.” ledek Dira, meniru dialog sinetron yang diperankan Baim Cilik. Seketika sohib-sohibku tertawa lepas. Aku pun tak kuasa menahan tawa. “Nah, gitu dong, betenya di-skip dulu.” kata Thea. “Bentar lagi bel nih, itung, ya, 1, 2, 3.” duga Rahma tiba-tiba. Dan, benar, teet-teet, bel masuk berbunyi. “Sampai jumpa jam istirahat ya, kawan!” kata Thea, mengakhiri obrolan pagi kami.
Di kelas, di sela jam pelajaran Bahasa Indonesia, “Sas, ntar balik skul, lo ambil jimbe lagi ya, rebananya juga jangan lupa!” suruh Ari dengan ketusnya. “Kenapa ga Joni atau Adi gitu! Gue kan…” aku tak meneruskan perkataanku. “Yaudah lo suruh Joni aja.” ujar Ari dengan tenangnya. Arghhhh…  Dan selepas pelajaran Bahasa Indonesia habis, aku bergerak menuju mejanya Joni, “Jon, siang ini lo yang ambil jimbe di Mushola, ya.” pintaku pada Joni. “Sorry, Sas, gue lagi asik main rubik nih.” ujar Joni dengan entengnya. “Okey, sabar, Sas, sabaaaarrr…” aku menenangkan diri dalam hati.
Sepulang sekolah, dengan amat sangat terpaksa, aku mengambil jimbe di Mushola. Ya ampuun, seperti yang sudah-sudah, beraaatt sekali. Sesampainya aku di kelas, tubuhku benar-benar lunglai. “Ok, mulai latian!” kembali Ari mengomando kami. “This is disco lazy time.. I want you, I need you…” Dwi, Raden, dan Joni bernyanyi dengan merdunya. “Sas, lo ntar bagian pembuka ya, tanda kita mulai, pokoknya 3 atau 4 pukulan. Ok?” Ari menginstruksiku. “Ok.” jawabku.
Latihan selesai, dan seperti biasa, setiap selesai latihan, Ari menghampiriku, “Sas, lo anterin gue balikin jimbe ya. tugas lo cuma anterin aja, trus….”, “Sampe Mushola, gue yang gotong.” belum sempat Ari bicara, sudah kupotong. Sepanjang perjalanan menuju Mushola, kami berdua hening. Karena kami latihan sampai sore, sohib-sohibku sudah pada pulang, dan aku was-was, angkot jam segini sepertinya sudah tidak ada. Fiuh…. Aku pulang lewat gerbang belakang, dekat kantin dan parkiran motor. Sekolah agak sepi, hanya terdengar suara senior paskibra yang sedang memarahi adik-adik yuniornya saja. Saat itu, tiba-tiba terdengar suara, “Sas, mau bareng ga?” panggil Ari. Aku menoleh dan mencari sumber suara. Hah? Ari? Dia ngajak balik bareng? Tumben, dia baik. Belum sempat aku menjawab, Ari kembali berkata, “Udah deh, bareng aja. Lagian jam segini udah ga ada angkot kali! Ga usah gengsi sama gue!”. Aku menghela nafas. Nada sombongnya itu… Bahkan, disaat memberi pertolongan pun, dia bicara dengan nada yang congkak. Karena tidak ada pilihan lain, aku akhirnya pulang dengan… Si Bos!
“Thanks ya, Ri.” Ucapku sesampainya aku di depan rumah. “Welcome.” Ari membalas dengan senyuman. Wow, seorang Ari Nugraha yang terkenal angkuh, ambisius dan perfeksionis itu tersenyum padaku! Ya ampun, senyumnya manis juga. Sampai di pintu rumah, Bunda terheran-heran melihatku yang pulang dengan ekspresi sumringah. Ini aneh, ada apa ini? Kenapa aku girang banget, ya?
Besok paginya, “What? Dia nganter lo balik?” tanya Thea. “Yup!” jawabku dengan sumringah. “Wah, bakal dapet PJ, nih kita!” Rahma berseru. “Apaan, dia baru nganterin gue balik sekali doang, kok!” kataku. “Senyumnya itu, loh, maniisss banget. Gue baru tau orang yang angkuh kaya dia, kalo lagi senyum, manisnya ga ketulungan.” lanjutku. “Awas, Sas, ntar lo diabetes lagi, gara-gara kemanisan.” canda Dira yang seperti biasanya, always make us laugh! Hahhahaha… “Tuh, kan bener dugaan gue, gue bilang juga apa, jangan kelewat sebel sama seseorang, terbukti kan, lo jadi demen!” terang Rahma. “Yee, gue kan ga bilang gue demen.” Aku mengelak. “Tapi dari ekspresi lo, keliatan banget lo seneng dianter sama dia, lo juga seneng kan, liat dia senyum.” jelas Nunik.
Teet-teet, bel masuk berbunyi. “Ok, sampai ketemu jam istirahat, Guys!” kali ini giliran Nunik yang menutup acara obrol-obrol seru kami.

                                                                        ***
            Tak terasa, dua minggu sudah terlewati, latihan demi latihan sudah kelompok kami lalui. Persiapan sudah matang. Meminjam dan mengembalikan jimbe ke Mushola pun sudah menjadi rutinitasku. Tapi aku tidak lagi menggerutu. Kan, Ari selalu nemenin. Hehehe… Ga ada lagi kecanggungan diantara kami berdua. Tiap jalan berdua menuju Mushola, kami tidak lagi hening. Dari obrolan-obrolan kami, terungkap kalau ternyata, seorang Ari Nugaraha yang angkuh, perfeksionis, dan ambisius, suka menonton Pororo. Hihihi… Ga nyangka deh… Dia juga suka nonton Opera Van Java, dan… Wow, ternyata dia punya sisi humoris juga, dibalik keseriusannya. Oh, ya, kita juga jadi sering pulang bareng. Hhehehe…
            Tiba waktunya di hari kami tampil. Anak-anak sekelas terlihat antusias berlatih. Wow, masing-masing kelompok sudah mempersiapkan konsep yang unik-unik. Kini, giliran kelompok kami. Rebana yang kupukul tiga kali, menjadi pertanda musik dimulai. “This is disco lazy time… I want you, I need you…” terdengar suara Raden, Dwi, dan Joni saat bagian reff-nya. Wow, kami mendapat banyak applause, Bu Ires pun memamerkan senyumnya, tanda ia menyukai penampilan kami. Senangnya… Dan, sesaat setelah kami selesai main, Ari yang masih pegang gitar, tersenyum ke arahku. Aku terperanjat dan membalas senyumnya. Ya ampuuun, senengnya kuadrat deh!
            Jam pelajaran musik pun, usai. Bel istirahat berbunyi. Teet-teet-teet. Aku bergegas menuju Basecamp, tak sabar ingin segera bercerita dengan sohib-sohibku tersayang. Tapi, tiba-tiba Ari memanggilku, “Sas, tunggu!”. Dia lalu menghampiriku dan berkata, “Thanks ya, good job loh, tadi.”. “Welcome, lo juga good job. I mean, kita semua, kelompok tiga. Hehehe…” balasku grogi. “Oh, ya, thanks juga ya, selama ini dah bantuin gue ambil jimbe.” ucapnya malu-malu. “Ya, sama-sama. Nanti mau gue anterin balikin jimbenya ga?”  tawarku. “Engga, ga usah, biar gue aja ntar sama Adi.” ujar Ari. “Yah, padahal kan gue pingin berduaan sama lo, Ri.” harapku dalam hati. “Mmm… ntar siang, mau ga lo balik bareng gue lagi? Iya, gue tau kita udah ga ada latian lagi, tapi boleh, kan, gue nganter lo balik siang ini?” ajak Ari. “Emm… Boleh.” aku menjawab dengan pipi yang bersemu merah. “Yaudah, ya, gue ke sana dulu.” aku mengakhiri percakapan sembari menengok ke arah Basecamp. Aku ga sanggup lama-lama berhadapan sama Ari. Aduh, aku grogi banget! “Ok.” Jawab Ari mempersilahkanku sambil memamerkan senyum manis andalannya yang sukses membuatku terbang melayang.
            Aku berjalan menuju Bascamp sambil senyum-senyum sendiri, dalam hati aku girangnya luar biasa, Ya ampun, kayanya aku jatuh cintrong deh. Gara-gara keseringan ambil jimbe bareng Ari, gara-gara sering pulang bareng Ari, dan gara-gara disenyumin Ari terus. Hihihi… Dalam perjalanan menuju Basecamp, aku melihat dua orang cowok IPA 4 bergotongan mengangkut jimbe. Bikin aku tambah senyum-senyum sendiri. Ups, Jimbe, I’m in Love!

Kenaikan Harga, Asyik?


         “Asyiknya kenaikan harga…” begitulah jargon salah satu brand rokok ternama yang saya lihat di sebuah billboard, ketika berada di dalam angkot menuju kampus. Pada billboard yang terletak di bundaran menuju Jl. Cipaganti tersebut, diilustrasikan tiga orang (tampaknya karyawan) sedang menyatap bekal makanan bersama. Maksud dari ilustrasi tersebut, kita tetap bisa asyik menikmati kenaikan harga. Membawa bekal dari rumah menjadi alternatif, daripada harus membeli makan di luar. Ada benarnya juga maksud ilustrasi tersebut. Hikmah dari kenaikan harga, kita bisa botram (makan bersama-sama dalam istilah Sunda) di taman kampus atau kantor. Suasana menjadi lebih akrab dan tentunya lebih hemat.
            Tapi, apa benar kenaikan harga itu asyik? Premium naik, dan biasanya akan disusul dengan kenaikan tarif angkutan kota. Tentu ini masalah bagi saya, anak kos yang sehari-hari setia menggunakan angkutan kota. Sebagian anda yang hobi berjalan kaki atau bersepeda menuju kampus atau kantor, tentu kenaikan premium bukan menjadi soal. Berbeda dengan saya, jarak dari Lengkong Besar ke Setiabudhi mungkin tidak bisa ditempuh dalam waktu singkat dengan sepeda. Walaupun disiasati dengan berangkat lebih pagi. Belum lagi macet.
            Mungkin, kecemasan saya akan kenaikan harga tidak sebanding dengan kesulitan yang akan dialami oleh para orang tua dari kalangan menengah ke bawah, yang merupakan mayoritas di negeri kita. Jutaan ibu mungkin akan dilanda kegalauan, bagaimana menyiasati kenaikan harga. Harga beras yang melambung dan ongkos serta jajan anak-anaknya yang naik, sementara penghasilan suami terbilang ngepas.
            Belum lagi berbagai pedagang kelas menengah ke bawah yang harus gigit jari, lantaran untung yang diperoleh akan menipis. Menaikkan harga jual dirasa akan mengurangi jumlah pelanggan. Pengusaha industri rumahan juga termasuk yang cemas dikala harga melambung. Bahan baku yang melambung lantaran kenaikan BBM, akan merampas sebagian laba atau bahkan merugi. Bukan tidak mungkin, surplus karyawan akan diberlakukan demi menyelamatkan usaha. Angka pengangguran bisa jadi meningkat.
            Bagaimana? Apa kenaikan harga masih bisa dibilang asyik jika sudah begini? Jika kita melihat hikmahnya, bisa jadi, kenaikan harga itu asyik. Sebagian anda yang sebelumnya tidak pernah membawa bekal untuk botram di kampus atau kantor, tentu kenaikan harga berefek rutinitas baru yang asyik. Anda yang sebelumnya membiarkan sepeda tertutup debu di gudang, kini bersepeda menuju kampus atau kantor menjadi alternatif yang asyik dan menyehatkan (selama jarak yang ditempuh tidak terlalu jauh).
            Dapat saya tarik garis merahnya, kenaikan harga adalah keasyikan mencari solusi. Memaksa otak untuk bekerja kreatif mencari alternatif. Bagi jutaan ibu yang kesulitan menyiasati kenaikan harga, membuka usaha sampingan bisa jadi alternatif yang mengasyikan. Semisal, membuka jasa jahitan atau menjual tas dan sandal dari limbah plastik bekas deterjen, yang tidak membutuhkan modal besar.



Minggu, 04 Maret 2012

Menikmati Budaya Belanda di Erasmus Huis


             Ayo, acungkan tangan, bagi anda yang sudah tidak tahan ingin ke Belanda! 1, 2, 3, 4, 37, 78, 112,… Wow! Banyak sekali sepertinya. Ok, siapkan diri anda, karena sebentar lagi kita akan berkelana ke negeri kincir angin tersebut. Eits, anda tidak usah repot-repot menyiapkan visa dan passport, lho! Cukup siapkan ongkos untuk bus Transjakarta dan sedikit bekal, kok. Lho? Belanda yang saya maksud bukanlah negeri Belanda yang sesungguhnya, melainkan pusat budayanya yang bernama Erasmus Huis.
            Sebagian anda mungkin masih asing dengan Erasmus Huis. Erasmus Huis adalah pusat budaya Belanda yang terletak di Jl. H.R. Rasuna Said, Kav. S-3, Kuningan, Jakarta Selatan (merupakan kompleks kedutaan asing). Erasmus Huis serangkaian dengan kedutaan Belanda. Di dalamnya terdapat perpustakaan, ruang seni, restoran yang menyajikan masakan khas Belanda, dan tempat kursus bahasa Belanda.
            Pertama kali kita menginjakkan kaki di sana, kita akan disambut oleh petugas sekuriti yang akan memeriksa barang bawaan kita. Bisa dikatakan, pengamanannya cukup ketat. Kebetulan, ketika penulis bertandang (Desember 2010) ke sana, sedang ada event seni. Penulis pun disuguhi pameran outdoor yang bertemakan kota Jakarta di pelatarannya.
            Puas menikmati pameran, kita bisa langsung memasuki perpustakaannya, yang terletak di dalam gedung Erasmus Huis. Suasana hangat menyapa kita, begitu memasuki ruang yang dipenuhi rak-rak buku kayu yang tinggi menjulang. Nuansa klasik begitu terasa pada interiornya, mungkin karena lantainya yang menggunakan parket, dan kentalnya pengaruh warna coklat kayu yang tersebar di seluruh ruangan. Koleksi buku kebanyakan berbahasa Belanda. Eits, jangan khawatir, karena ada satu rak khusus yang isinya buku berbahasa Indonesia. Di rak khusus tersebut, dapat kita temukan buku-buku tentang beberapa daerah (kabupaten)  di Indonesia, terutama di Banten (mengingat Banten adalah tempat pertama kali Belanda mendarat di Indonesia). Penulis buku-buku berbahasa Indonesia tersebut, kebanyakan orang Belanda. Selain itu, terdapat pula beberapa biografi tokoh-tokoh nasional Indonesia (Salah satunya, biografi Sutan Syahrir. Informasi mengenai beliau masih sangat jarang. Beruntung, penulis bisa menemukannya di sini.).
            Bagi anda yang sedang belajar bahasa Belanda, mungkin perpustakaan Erasmus Huis sangat cocok untuk mengasah kemampuan berbahasa Belanda anda. Buku berbahasa Belanda melimpah ruah, dari yang bergenre non-fiksi, hingga yang fiksi seperti novel, bacaan anak, dan lain-lain. Koleksi DVD berbahasa Belanda pun dapat kita jumpai. Suasananya yang terasa sangat Eropa, membuat kita betah berlama-lama di sini. Beberapa orang bertampang bule sesekali masuk ruangan, sekedar untuk membaca sejenak. Penjaga perpustakaannya yang seorang ibu paruh baya, akan dengan senang hati melayani jasa pembuatan kartu peminjaman buku. Terdengar, sedikit logat bulenya ketika beliau berbicara. Benar-benar terasa seperti di Eropa (Walaupun sebenarnya, penulis belum pernah mengunjungi Eropa. Hehehe…).
            Di luar ruang perpustakaan, terdapat ruang tengah yang cukup lebar. Pada waktu penulis berkunjung, ruang tersebut sedang digunakan untuk pameran lukisan seorang pelukis Belanda, Neel Korteweg. Lukisan-lukisan yang bercerita tentang pendeta Erasmus yang berkelana ke pulau Jawa itu, memenuhi seisi ruang tengah. Lukisan-lukisan tersebut sungguh serasi dengan ruang tengah yang bercat putih. Kita seolah sedang berada di galeri seni ternama di Eropa.
            Selain dapat mengenal banyak hal tentang Belanda lewat koleksi buku-buku di perpustakaannya, dan lukisan karya seniman Belanda, kita juga dapat menyaksikan film-film karya sineas Belanda yang biasa diputar di lobi Erasmus Huis. Di lobi yang terdiri dari sebuah LCD dan beberapa sofa dan tempat duduk ini, kita dapat menyaksikan film-film berbahasa Belanda yang bertemakan humanis, lagi gratis. Pemutaran film yang bertajuk “Europe on Screen” ini, hanya diadakan setahun sekali (Asyik, penulis mendapat kesempatan untuk menikmatinya.).
            Tepat di dekat lobi Erasmus Huis, terdapat sebuah tangga yang di dindingnya tertempel poster-poster konser musisi Belanda yang pernah diadakan di Erasmus Huis. Tangga tersebut membawa kita ke lantai dua, yang terdiri dari beberapa ruang pertunjukan. Di antara ruang-ruang tersebut, terdapat satu ruangan yang terbuka dan digunakan untuk pameran lukisan (Pada waktu penulis berkunjung, ruang tersebut sedang digunakan untuk pameran lukisan karya mahasiswa IKJ.).
            Bukan hanya suasana indoornya saja yang dapat memanjakan mata kita, suasana outdoornya pun tidak kalah memukau. Di pelataran gedung Erasmus Huis, selain terdapat tempat khusus untuk belajar bahasa Belanda dan restoran yang kedua-duanya terpisah dari gedung utama, terdapat pula taman yang cukup luas. Dari taman tersebut, kita bisa melihat gedung Kedutaan Belanda yang megah. Sebuah kolam yang menenangkan, beberapa bangku semen yang sederhana, dan pohon-pohon yang rindang, sungguh tempat yang asri untuk bersantai sambil membaca buku.
           

Hmm… Bagaimana? Seru, kan, mengenal budaya Belanda di Erasmus Huis? Hehehe… Mengunjungi Erasmus Huis memang tidak dapat menghilangkan hasrat anda untuk mengunjungi negeri Belanda. Tapi, tidak ada salahnya, kan, jika anda mengenal lebih dulu budaya suatu negara, sebelum anda mengunjungi negara tersebut? Siapa tahu, itu justru memotivasi anda untuk sungguh-sungguh merealisasikan keinginan anda berkunjung ke Belanda. Dank je!

cerpen :)

Bingkai Dirimu di Senja Reykjavik
Drrrt…drrtt… Terdengar suara getar handphoneku. Dari Lexa rupanya. Lexa, roommate sekaligus sahabatku selama di kota terhijau di dunia ini. “Don’t forget to dinner tonight, keep our room clean. Hahaha…” . Sms dari Lexa barusan menandakan aku sendirian di weekend ini. Jika dihitung, ini sudah minggu ke- 8 aku sendirian, sejak kedatanganku di bandara Keflavik beberapa bulan lalu. Kuhabiskan weekend dengan videocall bersama sohib-sohib IPA 3 dulu, membaca buku, membabat habis koleksi DVD yang kubawa dari Jakarta, dan…. Melahap dengan nikmat Vinarterta buatan madam Heidi, tetangga sebelah flat kami. Kue tradisional Islandia tersebut, menjadi obat sepiku setiap weekend tiba.
Madam Heidi Giojonsdottir, seorang pensiunan pegawai negeri sipil yang kini memilih berbisnis bakery, dengan membuka sebuah toko kue kecil di dekat kampusku, Reykjavik University. Madam Heidi dan suaminya sudah menikah selama 35 tahun dan tak memiliki keturunan. Belakangan aku tahu kalau mereka sebenarnya bersahabat sejak SMA dan terpisah beberapa tahun. Tuhan menakdirkan mereka berjodoh, “Awalnya aku tidak yakin, karena dia pernah berpacaran dengan teman sebangku ku, but, finally, pepatah ‘kamu tidak akan pernah tahu sebelum kamu mencobanya’ cukup membuatku yakin. Cinta itu tentang keyakinan dan keberanian, keberanian untuk mengambil keputusan, Dear…” cerita Madam padaku. Yup! Aku banyak belajar dari Madam, dia sudah seperti ibu ketiga bagiku, selain Tante Galuh dan Bunda tentunya. Kisah madam Heidi dan suaminya, mengingatkanku pada cerita kita.
Jam tanganku nyaris menunjuk angka 5, gurat senja sudah kian terlihat. Maret ini, siang dan malam terbagi rata. Huft, hari ini tidak terlalu sibuk, tugas sudah kuselesaikan, yaa… walaupun aku sedikit tidak suka , ‘sedikit tidak suka’ dengan dosennya. Profesor itu, perfeksionis. Agaknya aku semakin tertular virus ‘anti perfeksionisme’ mu. Perutku yang keroncongan membawaku ke sebuah restoran oriental di seberang kampus, siang tadi. Sepiring sayuran tumis dan nasi, cukup meredakan rasa kangenku pada Capcay buatan Bunda. Kamu tahu apa yang aku lihat di restoran itu? Sekeping cerita cinta yang unik. Aku melihat seorang wanita bermata sipit dengan beraninya menulis puisi cinta dengan lipstik merah saga di selembar tisu kepada seorang pria Catalan. Wanita itu, sepertinya memiliki kriteria pria idaman yang eksentrik. Pria Catalan yang duduk tepat di seberang mejaku itu, harusnya seorang seniman. Rambutnya yang terlihat jarang dikeramasi, kemeja longgarnya yang dihias kalung etnik, Wow, sepertinya dugaanku benar. Aku tahu kamu pasti akan membenci kebiasaanku yang satu ini, kebiasaan yang kamu anggap buruk, yup, menjadi life observer. Asal kamu tahu, kebiasaanku ini dimulai waktu aku dengan isengnya memperhatikan penampilan Pak Kahfi. Kamu ingat kan? Waktu itu beliau masih berstatus guru bantu di sekolah kita. Pak Kahfi dengan bahasa Inggris berlogat Jawanya, sukses membuatku ketagihan memperhatikan setiap gerak-geriknya. Hahaha..Dari situlah kebiasaan yang kamu sebut buruk itu berubah menjadi hobi. Di restoran oriental siang tadi, sepertinya hobi lamaku kembali menggeliat. Kamu tahu apa yang terjadi selanjutnya, antara wanita bermata sipit dengan pria Catalan tadi? Sang Pria Catalan meresponnya! Dia merespon wanita oriental itu. Alangkah beruntungnya wanita bermata sipit itu. Ia terlihat berbunga-bunga ketika sang pria catalan tersenyum ke arahnya. Mudah memperhatikan ekspresi wanita itu, karena hanya berbeda beberapa meja denganku.
‘’Nona, anda terlihat sendirian, ini, barangkali sekotak coklat dapat memeriahkan hati anda.” tiba-tiba seorang pria gipsi menawarkanku sekotak coklat. Hmm… trik penjualan yang menarik dan cukup membuyarkan ingatanku padamu. “Tidak, terima kasih , Tuan.” tolakku halus. Penjual coklat itu lalu berlalu. Kembali kulihat langit, senja semakin mendekat. Begitupun dengan dirimu. Ingatanku tentang dirimu, janji kita berdua setahun lalu, memenuhi pikiranku. Kalau saja waktu itu kamu tidak memilih Wanda, kalau saja kamu tidak membuatku kecewa begitu sangat, mungkin sekarang kita tengah menikmati senja di Leiden. Seperti janji kita dulu, menimba ilmu di negeri Kincir Angin bersama. Mungkin ini rindu yang berlebih, rindu yang tengah memuncak. Mungkin ini sudah takdir kita. Ya, ikatan kita yang hanya bisa sebagai sahabat.
Keputusanku untuk mengikuti saran Tante Galuh untuk mengambil Antropologi disini, kurasa tepat. Meski ragu awalnya, tapi kusyukuri akhirnya. Mungkin kamu akan berpikir ini pelarian, jaga jarak, menjauh, atau entah kata apalagi yang tepat untuk menggambarkannya. Tapi sejauh apa jarak kita sekarang, tak dapat membuat ingatanku padamu hilang, walau sedikit. Pagi tadi saat di bus menuju kampus, aku melihat sepasang kekasih yang duduk di seberangku, dengan asyiknya membahas berapa banyak kalori yang ada pada secup ice cream yang mereka pegang. Aku kembali ingat dirimu… Dengan ice cream vanilla dan hazelnut yang slalu kita beli setiap sabtu malam, sehabis menonton DVD bersama.
Hatiku… mengucap kata merindukanmu…
Laksana… Nyata manis nuansa… dan jika…
Gemintang tiada lagi melagu… kisahku…
Yang mencinta dirimu… ‘kan slalu abadi…”
Gemintang – Andien
Kupikir semua hal yang kita lewati bersama berarti lebih dimatamu. Benar-benar dugaan yang salah. Ketika mendengar kamu menyatakan cinta ke Wanda setahun yang lalu, rasanya, lapangan basket pagi itu berubah jadi halaman luas yang beralas tanah dan bertabur daun gugur. Rasanya tidak mungkin. Tapi terjadi. Dan ketika melihat caramu menatap Wanda di saat perpisahan, detik itu aku sadar, betapa Wanda berarti sangat dimatamu, berbeda dengan caramu melihatku ketika itu.
‘’Kamu jadi di Leiden, Ris?” tanyamu santai ketika itu. “Emm, kayanya engga, Gi.” jawabku datar. “Terus?” kamu kembali melontarkan pertanyaan. “Yaaa… kamu liat nanti aja aku adanya dimana.” kembali kujawab sinis. Seketika kamu langsung memegang tanganku, seraya memberi tatapan khasmu. Tatapan tanda Tanya yang tajam. Maaf aku tidak bisa menjelaskan semuanya, maaf aku tidak bisa bercanda lagi seperti biasanya. Di akhir-akhir masa SMA itu, rasanya ingin aku skip saja. Berbagai pertanyaan yang seharusnya tidak boleh ada dibenakku, justru membanjiri pikiranku. Sejak kapan kamu menyukai Wanda? Apa yang membuatmu menyukainya? Tapi… Diam dan memilih pergi mungkin tindakan yang tepat kupilih. Untuk menjauhimu, tak membalas setiap message mu. Maaf…, Gi. Mungkin suatu saat nanti, waktu membuatku berani bertatap muka denganmu lagi.
Drrt…drrrt… Getar handphoneku kembali menyadarkanku dari lamunanku. Alarm untuk menonton Tintin rupanya. Jingga sudah membelai langit, tanda bagiku untuk segera kembali pada dunia nyata, menghilang sejenak dari dunia hayalku, hayalku yang berisi dirimu. Senja di taman ini menegurku, betapa disetiap hal yang kulihat terselip cerita tentangmu. Bahkan disetiap peristiwa sederhana yang kulihat. Di bus, di restoran, di jalan, di taman ini, bahkan di senja ini, Peristiwa-peristiwa hari ini seperti bersamaan membentuk sebuah bingkai. Bingkai dirimu, Gi. Bingkai seorang Ergi Pralangga yang selama 3 tahun menjadi sahabatku, yang membuat diriku nyaman, bahkan diantara kerumunan orang dan macet sekalipun, Ergi yang menyemangatiku di saat kuragu belajar gitar untuk tes dulu, Ergi yang manja, optimis namun tidak ambisius. Untuk kesekian kalinya, maaf, aku menyukaimu, Gi.