“Guruku tersayang, guru tercinta… Tanpamu apa jadinya
aku…
Tak bisa baca tulis, mengerti banyak hal…
Guruku, terima kasihku…”
Penggalan
lagu klasik di atas, mengingatkan kita semua akan sosok guru favorit semasa
sekolah dulu. Guru yang bahkan
wejangan-wejangannya tetap kita ingat, meski telah bertahun-tahun meninggalkan
bangku sekolah. Cara mengajar yang bersahaja dan penuh ketulusan, membuat sosok
guru favorit mampu membangkitkan semangat belajar murid-muridnya. Sesulit
apapun pelajaran tersebut. Berikut adalah tiga sosok guru yang hingga detik ini
menjadi panutan penulis.
Bu
Mimin
Terngiang senyum
khasnya setiap saya mengingat sosok Ibu Guru yang satu ini. Senyum dan binar
matanya yang memancarkan ketulusan dan kebersahajaan. Beliau adalah guru bahasa
Indonesia saya, ketika duduk di bangku sekolah menengah pertama. Minkaesih nama
lengkapnya. Penuh perhatian pada murid-muridnya, sabar, dan mampu membuat
murid-muridnya antusias belajar bahasa Indonesia. Suatu pelajaran yang kita
tahu, dicap sebagai pelajaran yang tidak penting dan membosankan. Beliau
menjelma menjadi teman, setiap kali ia mengajar. Mungkin itu yang membuat kami
antusias diajar olehnya.
Pernah
suatu kali, kami ribut dan tak dapat dikendalikan. Bu Mimin yang putus asa lantaran
tak dapat lagi meng-kondusifkan seisi kelas, lalu menitikkan air mata. Kami
spontan terperanjat dan merasa bersalah. Bu Mimin lalu berlalu dan kami seisi
kelas menyesal karena membuatnya menangis. Dari semenjak itu, kami enggan ribut
lagi (pada waktu pelajaran Bu Mimin).
Momen
lucu yang masih terekam jelas dibenak penulis adalah ketika bersalaman untuk
pamit pulang. Sudah menjadi rutinitas, setiap pelajaran bahasa Indonesia
(penulis lupa, apa semua pelajaran juga demikian) berada di jam akhir, selalu
ada acara berpamitan sembari bersalaman dengan Bu Mimin (kita semua berbaris
dulu, loh. Mirip anak TK ya? Hehehe…). Aku yang siang itu kebetulan menggunakan
tas cangklek putih dan agak besar bentuknya, terkejut ketika Bu Mimin berkata,
“Mau ke pasar, Bu?”. Beliau berucap sembari melirik ke arah tasku. Aku sempat
terkejut lantaran Bu Mimin sebegitu jelinya memerhatikan muridnya. Aku lantas membalas
perkataan Beliau sembari tersipu malu, “Hehehe.. Ibu bisa aja...”.
Bu
Samini
Fisika?
Pasti sebagian kita langsung bergidik bila mendengar kata barusan. Yup! Saya
juga termasuk yang fobia dengan pelajaran yang satu ini (susahnya ngga
ketulungan!). Waktu saya duduk di kelas 8 sekolah menengah pertama, saya diajar
oleh Bu Samini untuk pelajaran yang terbilang menakutkan tersebut. Bu Samini
adalah seorang guru yang sabar. Walaupun ketika pertama kali mengajar, caranya
terlalu cepat. Sampai suatu ketika kami semua protes, “Ibu, nggak ngerti!”.
“Yang mana yang kalian nggak ngerti?” tanyanya. Kompak kami menjawab, “Semuanya,
Bu!”. Meski agak sedikit terkejut mendengar kita tidak mengerti semua materi yang Beliau ajarkan, Beliau akhirnya memaklumi
dengan merubah cara mengajarnya menjadi lebih perlahan, dan selalu menyelipkan
pertanyaan, “Ada yang kesulitan?”. Dari semenjak itu, kami yang tadinya sebal
dengannya, menjadi suka padanya. Benar-benar guru yang pengertian. Yaa, Beliau
paham kalau tidak semua anak cepat mengerti rumus-rumus dalam Fisika.
“Rambutnya
bagus, ga keliatan kaya abis dibonding. Tebel.” komentar Beliau mengenai rambut
baru saya, yang habis di-rebonding. Hehehe… saya hanya bisa senyum-senyum salah
tingkah. Ucapan lain yang saya ingat dan masih membekas hingga sekarang adalah
ucapan beliau ketika saya dan beberapa teman saya tengah duduk di bangku depan
sekolah dan dekat parkir motor (memorable betul, makanya saya masih ingat
detailnya). Sembari mengelus punggung saya, Beliau berucap, “Neneng ini, calon
guru.”. Saya lalu membalas ucapan Beliau sembari tertawa kecil dan heran kenapa
Beliau berucap demikian. Dalam hati saya ketika itu, saya tidak ingin jadi
guru. Tapi, ucapan Bu Samini kala itu adalah sebuah doa ternyata. Saya memang
belum menjadi guru saat ini, tapi hati saya yang dulunya enggan menjadi guru,
kini berbalik arah. Kini, saya berkeinginan untuk fokus dalam bidang pengajaran
bahasa Indonesia selepas lulus S1 nanti. Iyah, jadi guru. Guru bahasa Indonesia
untuk Penutur Asing (BIPA) di luar negeri untuk 2 atau 3 tahun, lalu kemudian
menjadi guru bahasa Indonesia SMP/A. *Doain, ya semoga terwujud! Amiin…
Bu
Reni
Jika
semasa SMP saya bergidik dengan Fisika (SMA juga masih, sih... Hehehe...), SMA
kelas 3 akhir, saya was-was dengan pelajaran musik, yang katanya akan tes
gitar. Tes ini adalah salah satu pengambilan nilai untuk UAS (kalau tidak
salah, yang jelas krusial sekali.). Brrrr.. dari beberapa bulan sebelumnya saya
sudah tidak dapat membayangkan bagaimana ketika tampil nanti.
Terlebih guru pelajaran
musik tersebut, terkenal killer.
Namanya Bu Reni. Pernah ketika kelas 2, saya dan kelompok terkena semprotan
Beliau, lantaran kami tidak ada persiapan untuk perform tugas musik. Ditambah
lagi, kami cekikikan saat maju. Beliau lalu berkomentar dengan sinis selepas
kami tampil, “Ga ada yang lucu! Kalian liat, kan, dari tadi saya nggak
ketawa!”. Kami sekelompok lalu hening. Malu dan menyesal. Kemudian perkataan
Beliau tersebut menjadi acuan buat kami untuk berpikir kreatif, kira-kira ide
apa yang bagus untuk tampil minggu berikutnya (masih ada kesempatan di minggu
berikutnya).
Di
minggu berikutnya, kami tampil se-terbaik mungkin. Serius tampil tanpa
cekikikan lagi. You know what? We got A! Dari situ saya paham sifat Beliau, di
matanya, siapa pun yang mau berusaha, akan Beliau hargai.
Owkey,
kembali ke tugas musik di kelas 3 akhir. Yup, nyaris saya menyerah dengan tes
yang satu ini. Main gitar sambil nyanyi? Di depan seluruh teman sekelas?
Whaaattt? Dan katanya tempatnya di aula. AULA? Tidak terbayang, di ruangan
seluas itu nyanyi sendirian dengan puluhan pasang mata tertuju pada kita. Di
rumah saja saya malu bernyanyi (malu sangat, sangat sangat sangat, yaaa… malu
saja kalau suara saya terdengar oleh siapa pun, even itu my mom/dad). Tapi,
entah kenapa pada akhirnya, saya memberanikan diri tampil (gilaaa, persiapan
saya cuma 2 minggu!). Hufff… rasanya grogi kubik (grogi kubik? Cari di KBBI!
Absolutely, nggak akan ada.).
Eits,
ternyata sifat Bu Reni yang saya duga sebelumnya, benar. Saya lulus, dengan
nilai 78! Beliau sungguh menghargai muridnya yang mau berusaha. Bukannya saya bangga
dengan persiapan saya yang instan, tapi saya bahagia karena Beliau menghargai
perjuangan saya untuk berani tampil. Walaupun, suara saya nggak semerdu Raisa
dan permainan gitar saya tidak se-jago Balawan. Bukan hal yang mudah buat saya
untuk bernyanyi di depan kelas, karena saya pernah punya pengalaman yang tak
mengenakkan seputar bernyanyi di depan kelas (bad experience itu
terjadi ketika saya duduk di bangku sekolah dasar). Berkat tes gitar tersebut,
saya jadi tidak singing-phobia lagi.
Terima kasih Bu Reni…
Berkat Ibu, saya jadi berani untuk bernyanyi di depan umum, sendirian! Terima
kasih juga, sudah membuat saya tidak bisa tidur semalaman, lantaran
berbunga-bunga bisa lulus tes gitar! J
Saya masih ingat perkataan Ibu sebelum mengakhiri pelajaran ketika di aula
dulu, “Kalau kita tidak suka dengan satu
mata pelajaran, kita harus kenali dulu pelajaran itu. Sama kaya kita mengenal
seseorang, jangan bilang tidak suka dulu, tapi kenali dan belajar untuk
menyukainya.”. Woaaa… truly inspiring! Masih banyak wejangan dari Beliau yang
masih saya ingat hingga detik ini (nggak mungkin kalau saya tulis semua,
hehehe…). Sekali lagi, terima kasih, Bu…
Mungkin
banyak diantara teman-teman semua yang juga mengalami pengalaman yang sama dengan saya. Memiliki inspiring teachers
semasa duduk di bangku sekolah, dengan berbagai kisah yang tentu terkenang
slalu. Beliau-beliau adalah panutan saya. Kelak, ketika impian saya menjadi
guru terwujud, saya ingin seperti Beliau-beliau, mengajar dengan tulus,
bersahaja dan tentu menginspirasi murid-muridnya. :)
sumber gambar: jimi-wiser.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar