Senin, 19 Maret 2012

Kenaikan Harga, Asyik?


         “Asyiknya kenaikan harga…” begitulah jargon salah satu brand rokok ternama yang saya lihat di sebuah billboard, ketika berada di dalam angkot menuju kampus. Pada billboard yang terletak di bundaran menuju Jl. Cipaganti tersebut, diilustrasikan tiga orang (tampaknya karyawan) sedang menyatap bekal makanan bersama. Maksud dari ilustrasi tersebut, kita tetap bisa asyik menikmati kenaikan harga. Membawa bekal dari rumah menjadi alternatif, daripada harus membeli makan di luar. Ada benarnya juga maksud ilustrasi tersebut. Hikmah dari kenaikan harga, kita bisa botram (makan bersama-sama dalam istilah Sunda) di taman kampus atau kantor. Suasana menjadi lebih akrab dan tentunya lebih hemat.
            Tapi, apa benar kenaikan harga itu asyik? Premium naik, dan biasanya akan disusul dengan kenaikan tarif angkutan kota. Tentu ini masalah bagi saya, anak kos yang sehari-hari setia menggunakan angkutan kota. Sebagian anda yang hobi berjalan kaki atau bersepeda menuju kampus atau kantor, tentu kenaikan premium bukan menjadi soal. Berbeda dengan saya, jarak dari Lengkong Besar ke Setiabudhi mungkin tidak bisa ditempuh dalam waktu singkat dengan sepeda. Walaupun disiasati dengan berangkat lebih pagi. Belum lagi macet.
            Mungkin, kecemasan saya akan kenaikan harga tidak sebanding dengan kesulitan yang akan dialami oleh para orang tua dari kalangan menengah ke bawah, yang merupakan mayoritas di negeri kita. Jutaan ibu mungkin akan dilanda kegalauan, bagaimana menyiasati kenaikan harga. Harga beras yang melambung dan ongkos serta jajan anak-anaknya yang naik, sementara penghasilan suami terbilang ngepas.
            Belum lagi berbagai pedagang kelas menengah ke bawah yang harus gigit jari, lantaran untung yang diperoleh akan menipis. Menaikkan harga jual dirasa akan mengurangi jumlah pelanggan. Pengusaha industri rumahan juga termasuk yang cemas dikala harga melambung. Bahan baku yang melambung lantaran kenaikan BBM, akan merampas sebagian laba atau bahkan merugi. Bukan tidak mungkin, surplus karyawan akan diberlakukan demi menyelamatkan usaha. Angka pengangguran bisa jadi meningkat.
            Bagaimana? Apa kenaikan harga masih bisa dibilang asyik jika sudah begini? Jika kita melihat hikmahnya, bisa jadi, kenaikan harga itu asyik. Sebagian anda yang sebelumnya tidak pernah membawa bekal untuk botram di kampus atau kantor, tentu kenaikan harga berefek rutinitas baru yang asyik. Anda yang sebelumnya membiarkan sepeda tertutup debu di gudang, kini bersepeda menuju kampus atau kantor menjadi alternatif yang asyik dan menyehatkan (selama jarak yang ditempuh tidak terlalu jauh).
            Dapat saya tarik garis merahnya, kenaikan harga adalah keasyikan mencari solusi. Memaksa otak untuk bekerja kreatif mencari alternatif. Bagi jutaan ibu yang kesulitan menyiasati kenaikan harga, membuka usaha sampingan bisa jadi alternatif yang mengasyikan. Semisal, membuka jasa jahitan atau menjual tas dan sandal dari limbah plastik bekas deterjen, yang tidak membutuhkan modal besar.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar