“Asyiknya
kenaikan harga…” begitulah jargon salah satu brand rokok ternama yang saya lihat
di sebuah billboard, ketika berada di
dalam angkot menuju kampus. Pada billboard
yang terletak di bundaran menuju Jl. Cipaganti tersebut, diilustrasikan tiga
orang (tampaknya karyawan) sedang menyatap bekal makanan bersama. Maksud dari
ilustrasi tersebut, kita tetap bisa asyik menikmati kenaikan harga. Membawa
bekal dari rumah menjadi alternatif, daripada harus membeli makan di luar. Ada
benarnya juga maksud ilustrasi tersebut. Hikmah dari kenaikan harga, kita bisa botram (makan bersama-sama dalam istilah
Sunda) di taman kampus atau kantor. Suasana menjadi lebih akrab dan tentunya
lebih hemat.
Tapi, apa benar kenaikan harga itu
asyik? Premium naik, dan biasanya akan disusul dengan kenaikan tarif angkutan
kota. Tentu ini masalah bagi saya, anak kos yang sehari-hari setia menggunakan
angkutan kota. Sebagian anda yang hobi berjalan kaki atau bersepeda menuju
kampus atau kantor, tentu kenaikan premium bukan menjadi soal. Berbeda dengan
saya, jarak dari Lengkong Besar ke Setiabudhi mungkin tidak bisa ditempuh dalam
waktu singkat dengan sepeda. Walaupun disiasati dengan berangkat lebih pagi.
Belum lagi macet.
Mungkin, kecemasan saya akan
kenaikan harga tidak sebanding dengan kesulitan yang akan dialami oleh para
orang tua dari kalangan menengah ke bawah, yang merupakan mayoritas di negeri
kita. Jutaan ibu mungkin akan dilanda kegalauan,
bagaimana menyiasati kenaikan harga. Harga beras yang melambung dan ongkos
serta jajan anak-anaknya yang naik, sementara penghasilan suami terbilang ngepas.
Belum lagi berbagai pedagang kelas
menengah ke bawah yang harus gigit jari, lantaran untung yang diperoleh akan
menipis. Menaikkan harga jual dirasa akan mengurangi jumlah pelanggan. Pengusaha
industri rumahan juga termasuk yang cemas dikala harga melambung. Bahan baku
yang melambung lantaran kenaikan BBM, akan merampas sebagian laba atau bahkan
merugi. Bukan tidak mungkin, surplus karyawan akan diberlakukan demi menyelamatkan
usaha. Angka pengangguran bisa jadi meningkat.
Bagaimana? Apa kenaikan harga masih
bisa dibilang asyik jika sudah begini? Jika kita melihat hikmahnya, bisa jadi,
kenaikan harga itu asyik. Sebagian anda yang sebelumnya tidak pernah membawa bekal
untuk botram di kampus atau kantor,
tentu kenaikan harga berefek rutinitas baru yang asyik. Anda yang sebelumnya
membiarkan sepeda tertutup debu di gudang, kini bersepeda menuju kampus atau
kantor menjadi alternatif yang asyik dan menyehatkan (selama jarak yang
ditempuh tidak terlalu jauh).
Dapat saya tarik garis merahnya,
kenaikan harga adalah keasyikan mencari solusi. Memaksa otak untuk bekerja
kreatif mencari alternatif. Bagi jutaan ibu yang kesulitan menyiasati kenaikan
harga, membuka usaha sampingan bisa jadi alternatif yang mengasyikan. Semisal,
membuka jasa jahitan atau menjual tas dan sandal dari limbah plastik bekas
deterjen, yang tidak membutuhkan modal besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar