Senin, 19 Maret 2012

Ups, ada cerpen baru, guys!



Ups, Jimbe, I’m in Love!

          “Dua minggu lagi kita ujian aransemen, buat nilai UTS ! So, persiapkan diri kalian. Oh, ya, saya minta minggu depan kalian udah punya konsep masing-masing, okey?” tegas Bu Ires. Seketika kelas kami riuh. “Oh, ya, bagi kelompok sekarang juga, lima atau enam orang cukup. Okey? Selamat siang dan sampai jumpa minggu depan!” ujar Bu Ires mengakhiri pelajaran sembari memasang ekspresi SELAMAT-MENGERJAKAN-ARANSEMEN-ANAK-ANAKKU-SAYANG! Seketika kelas kami riuh. Rai, selaku ketua kelas kami, angkat bicara, “Wey, Attention please! Guys, mulai bagi kelompok ya… Yo, berhitung dari depan, 1 sampe 6 yah… Mulai !”. Giliranku, “Tiga!” teriakku lantang. Selepas seisi kelas berhitung, giliran Asti menulis nama-nama anggota kelompok di papan tulis. Aku yang tak begitu antusias dengan pelajaran seni musik, memilih mengisi LKS Biologi saja. Sampai terdengar suara Asti menyebut teman-teman sekelompokku, “Kelompok tiga , Ari, Joni, Dwi, Saski, Adi, dan Raden. Ok, lanjut kelompok empaaat..”. “WHAT? Gue sekelompok sama Ari? Ari Nugraha yang menurut trade record temen-temen, orangnya perfeksionis abis. Arrghh…. Tamat gue! Mana gue ga jago main musik lagi. Arrghhhh…” gerutu ku dalam hati. Seketika LKS Biologi ku coret-coret.
Teet-teet-teet, bel istirahat berbunyi. “Arrrgghh… bête, bête, bête, bêteeeee!” teriakku pada Dira yang sedang asyik baca Conan di Basecamp kita yang terletak di tangga menuju Laboratorium.  “Kenape lo? Autis!” tanya Dira heran. “Gue sekelompok aransemen sama Si Mr. Per-fek, ARI NUGRAHA! Itu artinya, gue kudu siap dibentak-bentak, diatur-atur, pokoknya, Arghhhhh….!” jelasku panjang lebar dan penuh emosi. “Yaelah, nikmatin aje kali.” ujar Dira santai. “Weey, udah pada nongkrong aje ni ibu-ibu PKK.” tiba-tiba Thea yang baru kelar pelajaran Geografi ikut nimbrung. “Muke lo nape, Sas?” tanya Thea, yang heran dengan ekspresi bête ku. “Gue sekelompok aransemen sama Si Mr. PER-FEK ARI-NUGRAHA!” ke-bete-an ku memuncak. “Lebay lo! Yaudah kali, lo terima aje. Gue juga sekelempok sama orang yang paling gue sebel di kelas, tapi gue fine-fine aje tuh. Yaudah nikmatin aje kali, Sas.” saran Thea. “Hhhh… iya iya, ok, perut gue ude laperrr niy, kantin yuu..” pintaku pada Dira dan Thea. “Kalian ga mau nunggu Rahma sama Nunik?” tiba-tiba Dira ngingetin kita, masih ada dua anggota kita, yang belum kelar pelajaran. “Oh, iya!” ujar Thea dan aku.
Keesokan harinya, pagi yang cerah ceria tiba-tiba berubah menjadi abu-abu. “Sas, sini! Kita lagi ngomongin konsep buat aransemen nanti.” Ari menyapa aku yang baru saja beberapa langkah sampai di kelas. Dengan muka yang ku setting seolah bahagia disambut oleh sapaan ketusnya, aku melangkah menuju gerombolan kelompokku. ”Semalem gue udah kelar bikin konsepnya. Nanti kita bakal nampilin lagu Disco Lazy Time-nya Nidji yang bakal diiringin sama jimbe dan…. Yaa, sentuhan Afrika gitu deh.” jelasnya panjang lebar and of course dengan nada bicaranya yang congkak. Seketika aku senyum-senyum sendiri membayangkan Ari memakai kostum ala suku-suku Afrika dan bicara dalam bahasa Tarzan. “Kenapa lo, Sas? Ketawa-ketawa sendiri. Pikirin dong konsep kita gimana, ini bukan main-main kali, nilai UTS kita diambil dari sini!” tegur Mr. Perfek yang menangkap ekspresi mesem-mesemku. “Always nilai! Ga bisa apa… sekalii aja, ga mikirin nilai?” gerutuku dalam hati. Yeah, bukan rahasia umum lagi, kalau Ari hobi banget mentingin nilai. Pernah satu kali dia nonjok tembok, cuma gara-gara nilai Matematikanya 97! What? 97 tuh udah bagus banget kali! Aku aja yang dapet 81, jingkrak-jingkrak kegirangan! Sekolah tuh bukan cuma nilai, nilai, dan nilai aja! “Kenapa gue ga dapet 100?!” gerutu Ari sambil menonjok tembok kala itu. I don’t think he have a girl friend. Knock knock on the wood deh,  jangan sampe aku punya cowok yang ambisius kaya dia.
Siang ini aku absen ke kantin bareng sohib-sohibku. Ya, apalagi kalau bukan kerja kelompok aransemen. “Karena kita butuh jimbe, Sas, lo ambil jimbe di Mushola ya. Pinjem punya anak-anak Nasyid. Ga pake lama, ya!” dengan enaknya Mr. Perfek menyuruhku mengambil jimbe. “Ambil jimbe? Gue? Becanda lo, Ri! Gue kan cewek! Kan ada Joni sama Adi. Masa gue yang ambil? Arghhhhh!” emosiku dalam hati. “Joni sama Ari lagi pinjem gitar.” terang Ari, seolah membaca pikiranku. Hufh… Aku menghela nafas sabar dan tanpa perlawanan aku mengikuti arahannya. Entah aku habis menelan pil apa, aku jadi sabar begini. Mungkin efek nemenin Bunda nonton ceramahnya Mamah Dedeh tadi pagi. “Jadi orang harus sabar.” nasihat Mamah Dedeh. Ok, back to the real situation, tidak terbayang mengangkat jimbe dari Mushola sampai kelas. Naik tangga lagi! Hhhhh…. Tubuhku lunglai. “Oh, ya, Sas, sekalian sama rebana juga ya!” Ari menyahutiku dari jauh. Hhhhh…. Arggghhhhhh…. Aku autis sendiri sambil jalan menuju Mushola. Terdengar suara cekikikan dari kelas 11 IPA 2 yang kulewati, pasti mereka menertawaiku. Mungkin aku bakal di cap sebagai kakak kelas yang paling aneh. Ahhh, peduli amat. Membawa jimbe yang ditambah rebana di atasnya lebih-lebih beratnya dari mengangkat galon air yang biasa aku lakukan di rumah. Haaaaaa… berat sekaliiii… rasanya pinggang ini encok!
“Dwi, Joni, sama Raden, nyanyi. Gue gitar, Adi pegang jimbe, dan lo, Sas, main rebana.” atur Ari. “Ini teksnya, kalian yang nyanyi hapalin di rumah, Di, lo ikutin musiknya, pokoknya yang pegang jimbe sama rebana, tugas kalian sebagai pengiring. Ketukannya ikutin gue.” jelas Ari. “Pegang rebana? Hhhh… kenapa ga lagu religi aja sekalian?” omongku dalam hati.        Teet-teet, bel berbunyi dua kali, tanda jam istirahat habis. “Ok, ntar abis balik skul, kita lanjut. Alat-alat taruh di belakang kelas aja.” suruh Ari. Kami yang sejak tadi latihan di depan Lab, bergegas kembali ke kelas. Untungnya, sekarang Adi yang bawain jimbe. Aku kebagian membawa rebana saja. Yes!
Sepulang sekolah aku melangkah menuju kelas IPS 3, aku bermaksud memberitahu Rahma kalau hari ini aku ga bisa balik bareng. “Ma, gue ada latian aransemen, kalian balik duluan aja.” kataku. “Oh, ok, balik sendiri berani, kan?” tanya Rahma. “Berani,lah,emmm… btw, doain gue ya, biar gue bisa tahan sekelompok sama Si Mr. Perfek.’’ ujarku pada Rahma. “Mmm, ntar juga lo tahan. Awas, ati-ati lo, jangan kelewat sebel ma seseorang, bisa-bisa jatuh cintrong lagi!” canda Rahma. “Hah? Jatuh cintrong? Sama dia? Knock knock on the wood deh gue! Orang nyebelin kaya dia, pantesnya dibuang ke Segitiga Bermuda!” ucapku sebal.  “Emm, sebel itu artinya seneng betul, loh!” goda Rahma. “Udah-udah, cukup, gue balik ke kelas dulu, ya, sebelum gue dimarahin sama Si Bos Ari.” ujarku sembari ancang-ancang balik ke kelas. “Mmm, sekarang diganti ya, namanya. Tadi Mr. Perfek, sekarang Si Bos, besok?” kata Rahma lagi. Aku buru-buru tutup kuping. “Awas, Sas, ntar jatuh cintrong!” terdengar suara Rahma berteriak. Aku yang tak menghiraukan teriakannya, bergegas menuju kelas.
“Mulai yah…” Ari mengomando kami. “Wake me up tonight...” yang kebagian vokal, mulai menyanyi. Sementara aku dan Adi mengiringi gitar yang dimainkan Ari. Hmmm… lumayan, dengan sendirinya aku mulai menikmati. Latihan pun usai, dan akan disambung esok hari. Sebelum balik,  “Sas, anterin gue balikin jimbe sama rebana, dong! Gue yang bawa sampe depan Mushola, tapi ntar lo yang gotong sampe dalem Musholanya.” Ari sempet-sempetnya menyuruhku. Hhhh…
Besoknya, sebelum bel masuk berbunyi, aku meluapkan kekesalanku pada Si Bos, panggilan baru untuk Ari Si Mr. Perfek, pada sohib-sohibku. “Gila, ganas juga tuh cowok. Masa lo disuruh gotong jimbe segala?” tanya Nunik heran. Aku mengangguk. “Sabar ya, Sas. Kita turut prihatin. Hhahaha” canda Thea. “Puas ya, liat gue menderita?” kataku ketus. “Tenang aja, Sas, Baim celalu doain, Saski, kok. Amiin.” ledek Dira, meniru dialog sinetron yang diperankan Baim Cilik. Seketika sohib-sohibku tertawa lepas. Aku pun tak kuasa menahan tawa. “Nah, gitu dong, betenya di-skip dulu.” kata Thea. “Bentar lagi bel nih, itung, ya, 1, 2, 3.” duga Rahma tiba-tiba. Dan, benar, teet-teet, bel masuk berbunyi. “Sampai jumpa jam istirahat ya, kawan!” kata Thea, mengakhiri obrolan pagi kami.
Di kelas, di sela jam pelajaran Bahasa Indonesia, “Sas, ntar balik skul, lo ambil jimbe lagi ya, rebananya juga jangan lupa!” suruh Ari dengan ketusnya. “Kenapa ga Joni atau Adi gitu! Gue kan…” aku tak meneruskan perkataanku. “Yaudah lo suruh Joni aja.” ujar Ari dengan tenangnya. Arghhhh…  Dan selepas pelajaran Bahasa Indonesia habis, aku bergerak menuju mejanya Joni, “Jon, siang ini lo yang ambil jimbe di Mushola, ya.” pintaku pada Joni. “Sorry, Sas, gue lagi asik main rubik nih.” ujar Joni dengan entengnya. “Okey, sabar, Sas, sabaaaarrr…” aku menenangkan diri dalam hati.
Sepulang sekolah, dengan amat sangat terpaksa, aku mengambil jimbe di Mushola. Ya ampuun, seperti yang sudah-sudah, beraaatt sekali. Sesampainya aku di kelas, tubuhku benar-benar lunglai. “Ok, mulai latian!” kembali Ari mengomando kami. “This is disco lazy time.. I want you, I need you…” Dwi, Raden, dan Joni bernyanyi dengan merdunya. “Sas, lo ntar bagian pembuka ya, tanda kita mulai, pokoknya 3 atau 4 pukulan. Ok?” Ari menginstruksiku. “Ok.” jawabku.
Latihan selesai, dan seperti biasa, setiap selesai latihan, Ari menghampiriku, “Sas, lo anterin gue balikin jimbe ya. tugas lo cuma anterin aja, trus….”, “Sampe Mushola, gue yang gotong.” belum sempat Ari bicara, sudah kupotong. Sepanjang perjalanan menuju Mushola, kami berdua hening. Karena kami latihan sampai sore, sohib-sohibku sudah pada pulang, dan aku was-was, angkot jam segini sepertinya sudah tidak ada. Fiuh…. Aku pulang lewat gerbang belakang, dekat kantin dan parkiran motor. Sekolah agak sepi, hanya terdengar suara senior paskibra yang sedang memarahi adik-adik yuniornya saja. Saat itu, tiba-tiba terdengar suara, “Sas, mau bareng ga?” panggil Ari. Aku menoleh dan mencari sumber suara. Hah? Ari? Dia ngajak balik bareng? Tumben, dia baik. Belum sempat aku menjawab, Ari kembali berkata, “Udah deh, bareng aja. Lagian jam segini udah ga ada angkot kali! Ga usah gengsi sama gue!”. Aku menghela nafas. Nada sombongnya itu… Bahkan, disaat memberi pertolongan pun, dia bicara dengan nada yang congkak. Karena tidak ada pilihan lain, aku akhirnya pulang dengan… Si Bos!
“Thanks ya, Ri.” Ucapku sesampainya aku di depan rumah. “Welcome.” Ari membalas dengan senyuman. Wow, seorang Ari Nugraha yang terkenal angkuh, ambisius dan perfeksionis itu tersenyum padaku! Ya ampun, senyumnya manis juga. Sampai di pintu rumah, Bunda terheran-heran melihatku yang pulang dengan ekspresi sumringah. Ini aneh, ada apa ini? Kenapa aku girang banget, ya?
Besok paginya, “What? Dia nganter lo balik?” tanya Thea. “Yup!” jawabku dengan sumringah. “Wah, bakal dapet PJ, nih kita!” Rahma berseru. “Apaan, dia baru nganterin gue balik sekali doang, kok!” kataku. “Senyumnya itu, loh, maniisss banget. Gue baru tau orang yang angkuh kaya dia, kalo lagi senyum, manisnya ga ketulungan.” lanjutku. “Awas, Sas, ntar lo diabetes lagi, gara-gara kemanisan.” canda Dira yang seperti biasanya, always make us laugh! Hahhahaha… “Tuh, kan bener dugaan gue, gue bilang juga apa, jangan kelewat sebel sama seseorang, terbukti kan, lo jadi demen!” terang Rahma. “Yee, gue kan ga bilang gue demen.” Aku mengelak. “Tapi dari ekspresi lo, keliatan banget lo seneng dianter sama dia, lo juga seneng kan, liat dia senyum.” jelas Nunik.
Teet-teet, bel masuk berbunyi. “Ok, sampai ketemu jam istirahat, Guys!” kali ini giliran Nunik yang menutup acara obrol-obrol seru kami.

                                                                        ***
            Tak terasa, dua minggu sudah terlewati, latihan demi latihan sudah kelompok kami lalui. Persiapan sudah matang. Meminjam dan mengembalikan jimbe ke Mushola pun sudah menjadi rutinitasku. Tapi aku tidak lagi menggerutu. Kan, Ari selalu nemenin. Hehehe… Ga ada lagi kecanggungan diantara kami berdua. Tiap jalan berdua menuju Mushola, kami tidak lagi hening. Dari obrolan-obrolan kami, terungkap kalau ternyata, seorang Ari Nugaraha yang angkuh, perfeksionis, dan ambisius, suka menonton Pororo. Hihihi… Ga nyangka deh… Dia juga suka nonton Opera Van Java, dan… Wow, ternyata dia punya sisi humoris juga, dibalik keseriusannya. Oh, ya, kita juga jadi sering pulang bareng. Hhehehe…
            Tiba waktunya di hari kami tampil. Anak-anak sekelas terlihat antusias berlatih. Wow, masing-masing kelompok sudah mempersiapkan konsep yang unik-unik. Kini, giliran kelompok kami. Rebana yang kupukul tiga kali, menjadi pertanda musik dimulai. “This is disco lazy time… I want you, I need you…” terdengar suara Raden, Dwi, dan Joni saat bagian reff-nya. Wow, kami mendapat banyak applause, Bu Ires pun memamerkan senyumnya, tanda ia menyukai penampilan kami. Senangnya… Dan, sesaat setelah kami selesai main, Ari yang masih pegang gitar, tersenyum ke arahku. Aku terperanjat dan membalas senyumnya. Ya ampuuun, senengnya kuadrat deh!
            Jam pelajaran musik pun, usai. Bel istirahat berbunyi. Teet-teet-teet. Aku bergegas menuju Basecamp, tak sabar ingin segera bercerita dengan sohib-sohibku tersayang. Tapi, tiba-tiba Ari memanggilku, “Sas, tunggu!”. Dia lalu menghampiriku dan berkata, “Thanks ya, good job loh, tadi.”. “Welcome, lo juga good job. I mean, kita semua, kelompok tiga. Hehehe…” balasku grogi. “Oh, ya, thanks juga ya, selama ini dah bantuin gue ambil jimbe.” ucapnya malu-malu. “Ya, sama-sama. Nanti mau gue anterin balikin jimbenya ga?”  tawarku. “Engga, ga usah, biar gue aja ntar sama Adi.” ujar Ari. “Yah, padahal kan gue pingin berduaan sama lo, Ri.” harapku dalam hati. “Mmm… ntar siang, mau ga lo balik bareng gue lagi? Iya, gue tau kita udah ga ada latian lagi, tapi boleh, kan, gue nganter lo balik siang ini?” ajak Ari. “Emm… Boleh.” aku menjawab dengan pipi yang bersemu merah. “Yaudah, ya, gue ke sana dulu.” aku mengakhiri percakapan sembari menengok ke arah Basecamp. Aku ga sanggup lama-lama berhadapan sama Ari. Aduh, aku grogi banget! “Ok.” Jawab Ari mempersilahkanku sambil memamerkan senyum manis andalannya yang sukses membuatku terbang melayang.
            Aku berjalan menuju Bascamp sambil senyum-senyum sendiri, dalam hati aku girangnya luar biasa, Ya ampun, kayanya aku jatuh cintrong deh. Gara-gara keseringan ambil jimbe bareng Ari, gara-gara sering pulang bareng Ari, dan gara-gara disenyumin Ari terus. Hihihi… Dalam perjalanan menuju Basecamp, aku melihat dua orang cowok IPA 4 bergotongan mengangkut jimbe. Bikin aku tambah senyum-senyum sendiri. Ups, Jimbe, I’m in Love!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar